Roy Mulai Curiga

5.3K 403 4
                                    

Kulambaikan tangan sembari mengukir semanis mungkin saat melepas kepergian Lili dan mobilnya. Kupandangi dia yang kini mulai menjauh dimakan jarak.

Ah, berakhir sudah sandiwara manisku di hadapan Lili. Kini, kembali lagi ke mode awal. Diam dan dingin.

"Apa maksudmu tadi?" tanya Ihsan sesaat aku berpaling dan hendak menuju masuk ke rumah.

"Ada yang salah? Bukannya yang aku katakan tadi benar, San? Ayolah, jangan berpura-pura lagi di hadapanku!"

Sebenarnya kesal sekali hatiku ini saat mengatakan itu. Ada segenap amarah yang masih berusaha ditahan agar tak meledak begitu saja.

Malas sekali memperpanjang masalah. Aku lebih memilih untuk langsung saja bergegas meninggalkan Ihsan yang malah bergeming usai mendengar ucapanku.

Usai itu aku habiskan waktu dengan mengurung diri di kamar. Malas sekali melihat wajah Ihsan. Jangankan wajahnya, suaranya saja membuatku sangat jengkel. Selain itu, mendadak kepalaku terasa sangat berat.

Kemarin aku sudah mencari tahu lewat internet seputar fase hamil di trimester pertama. Hal yang wajar jika sang ibu merasa mual dan sakit kepala. Bahkan aku kemarin juga sempat membaca, bahwa ada kasus seorang ibu yang saking kewalahannya pada trimester pertama kehamilan sampai susah bangun dari tempat tidur. Ya, setidaknya kehamilanku ini masih bisa ditoleransi.

🌿🌿🌿🌿🌿

Seperti biasa di akhir pekan, usai salat Asar, Ihsan pasti akan pergi untuk main futsal dengan teman-temannya.

Setelah meyakini sosoknya sudah tidak ada di rumah, baru aku mau turun ke dapur untuk memasak lalu disambung mengurus pekarangan yang akhir-akhir ini jarang sekali aku urus karena kondisi badan yang tidak stabil.

Sebenarnya Ihsan menawarkan agar mempekerjakan ART, tapi menurutku hal itu tidak perlu dilakukan. Kurasa semuanya masih bisa diatasi sendiri.

Beberapa tanaman dan bunga syukur saja masih bertahan hidup, walau selama beberapa minggu ini hanya bisa aku siram saja. Kasihan mereka tidak mendapat nutrisi lebih. Biasanya aku akan begitu rajin memberi pupuk, membersihkan beberapa daun yang mengering, tapi kali ini .... Ya, setidaknya aku masih banyak bersyukur kondisi mereka tidak mengenaskan atau bahkan sampai layu lalu berakhir mati.

Kulihat sebuah mobil berwarna hitam pekat sedang berhenti di depan gerbang.

Bukannya itu mobil Roy? Untuk apa dia ke sini?

Aku lantas melepas gunting rumput, lalu berjalan mendekat. Membuka gerbang, sembari menatap Roy dengan heran.

"Ada apa, Roy? Ada sesuatu?"

Aku bingung. Tak ada angin, tak ada hujan mendadak saja dia kemari.

"Aku khawatir tentang kamu. Terlebih setelah kemarin."

Aku membulatkan mata secara cepat. Tak kusangka dia sekhawatir ini. Padahal bisa saja menghubungiku lewat telepon atau chat.

"Apakah kamu sudah sehat? Lalu, bagaimana suamimu? Dia tidak melakukan apa pun, kan, padamu?"

Sejenak aku mengernyitkan dahi, sambil berusaha merangkai jawaban terbaik.

"Aku baik-baik saja. Alhamdulillah, tidak sakit lagi. Kamu melihat sendiri aku sekarang sudah fit."

"Lalu, suamimu? Apakah kemarin dia sangat marah?"

"Kamu santai saja. Cekcok dalam rumah tangga kan wajar. Aku sudah jelaskan semuanya, akhirnya dia paham kalau kemarin hanya salah paham. Sudahlah, kamu tidak perlu takut seperti itu tentang keadaanku."

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang