Setengah mati kutahan kejengkelan pada Ihsan, tapi lebih baik untuk memilih diam dan melangkah ke lantai atas menuju kamar. Perlahan kubuka pintu kamar, lalu melihat sekeliling. Kamar yang cukup luas dengan warna dominan putih. Begitu pula pada lemari dan ranjang. Ada sebuah balkon di samping kanan ranjang yang menampilkan pemandangan komplek yang cukup asri.
Sejenak kuhirup napas dalam-dalam merasakan oksigen masuk memenuhi tiap rongga dada. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Semua terlimpah ruah, bahkan oksigen untuk bernapas masih bisa dirasakan secara gratis.
Hal yang kulakukan berikutnya tentu saja mengeluarkan pakaian dari koper dan memasukkannya ke dalam lemari. Usai semuanya telah dilaksanakan, suara azan Asar berkumandang dari salah satu masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah.
Tok ... tok ... tok ....
Masih tidak ada jawaban. Sedang apa sih dia? Lama banget untuk membuka pintu. Cukup lama aku berdiri di depan pintu kamar Ihsan, akhirnya sosok yang diharapkan keluar juga.
"Ada apa? Gak tahu apa kalau orang lagi kelelahan gini?" tanya Ihsan sembari mengucek mata, melihat sepasang mata yang seperti sulit terbuka, dapat kutebak dia baru bangun tidur.
"Sudah masuk waktu salat, San. Yuk, salat bareng!" ajakku.
"Kamu aja sendiri, aku nanti." Ihsan menutup pintu begitu saja, menyisakan aku yang sejenak mematung.
"Jangan tidur lagi!"
"Cerewet!" teriak Ihsan dari dalam kamar.
Aih, dikasih tahu, kok malah sewot gitu. Keterlaluan banget kamu, San.
🌿🌿🌿
"Selamat pagi, San. Aku sudah masak nasi goreng. Yuk, makan!" Kuangkat piring dan berniat mengambilkan nasi untuk Ihsan.
"Aku tidak lapar. Kamu saja yang makan sendiri." Ihsan malah langsung memalingkan muka dan beranjak pergi setelah mengatakan itu.
Tanpa ambil tempo aku langsung mengejar dan menghadang langkahnya.
"San, kamu yakin? Kamu kerja hari ini. Kalau kenapa-kenapa. Apakah mau aku buat ke wadah bekal aja?""Wa, aku gak lapar. Sudah deh, gak usah berperilaku seperti seorang istri. Ingat, pernikahan ini bagiku tidak nyata."
Kalimat itu ... kembali dia utarakan. Rasa sesak langsung menghantam dada. Enteng sekali dia mengatakan. Apakah dia tidak tahu, mau bagaimana pun aku adalah istrinya?
Ihsan beranjak lagi meninggalkanku. Kini dia masuk ke mobil. Aku langsung mendekati mobil dan mengetuk kaca yang berada di sisi kanan Ihsan. Aku harap dia mau menurunkan kaca itu. Syukur saja, harapanku menjadi kenyataan.
"Apa lagi?" tanya Ihsan. Terdengar suaranya sedikit judes.
"Nanti malam mau makan apa?"
"Gak usah, aku bakal lembur." Ihsan langsung menutup kaca mobil dan tancap gas meninggalkan pekarangan rumah.
Keras sekali hatimu, San.
Siapa yang menyangka, bahwa pernikahan dengan lelaki yang kucinta sepenuh hati, tidak dapat memberi kebahagiaan sepenuhnya. Perlakuan dingin darinya seperti makanan sehari-hari.
Ada apa dengan Ihsan? Aku penasaran sekali sebab yang menjadikannya berubah seperti saat ini. Kalau alasannya adalah pernikahan ini. Pernikahan tanpa cinta, menurutnya. Aku seperti sedikit kesal. Aku telah meninggalkan semua hal di Jakarta hanya untuk Ihsan. Berbagai macam cara telah kulakukan untuk mengetuk pintu hati lelaki itu, tapi nyatanya memang dia seperti gerbang kokoh yang enggan untuk didekati orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...