“Astaghfirullah!”
Tanpa ambil tempo aku duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Keringat dingin sudah membasahi wajah dan sekujur badan.
Badanku bergetar hebat, buliran di pelupuk mata sudah menggenang, tapi masih kutahan sekuat tenaga agar tak begitu saja menerobos pertahanan yang kubuat.
Mimpi buruk kembali menjadi alasanku saat ini terbangun. Sudah kesekian kalinya mimpi ini datang. Padahal sudah sejauh mungkin kubuang kenangan pahit di malam itu, tapi ternyata percuma. Walau itu adalah kenangan yang bertahun-tahun lamanya, tapi sangat sulit aku melupakannya. Dia ibarat puzzle yang akan datang lagi, kepingan demi kepingan, membawa pesan kelam yang hanya akan meninggalkan luka.
“Ayah ... Ibu ... Hawa rindu kalian.” Kuremas guling dan menenggelamkan wajah sembari terisak karena mengingat mereka dan kejadian pada malam itu.
Cukup lama aku berusaha menenangkan diri yang sudah terlanjur terbawa arus kesedihan yang sempat datang tanpa diundang. Usai kurasa sesak di dada semakin berkurang. Kutarik napas secara dalam dan menghembuskannya sembari berzikir agar jiwa ini bisa lebih tenang.
Kutatap sekilas jam yang menempel di dinding. Jarum panjang menunjuk angka tiga sementara jarum pendek menunjuk angka empat. Tak kusia-siakan kesempatan ini untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Wajah yang sudah basah dengan air wudu, kini malah semakin basah setelah kupanjatkan segala doa dan keresahan. Hanya Allah tempatku mengadu. Menjelaskan segala rasa sakit yang sepertinya masih tidak ada menemukan obatnya.
“Ya Allah, maafkan aku. Aku tahu, bahwa kau tarik semua yang kusayangi agar aku tak menjadikannya berhala. Kalau keadaan seperti ini bisa mendekatkanku pada-Mu, maka aku ikhlas.”
Susah payah aku mengatakan itu dengan deraian air mata yang mengucur tiada henti. Dari detik ini kumantapkan hati untuk melupakan semuanya, termasuk lelaki itu. Di mana dan bagaimana dia sekarang bukan urusanku lagi.
“Ya Allah, kirimkanlah aku lelaki yang bisa membuatku selalu ingat dengan-Mu. Dengan melihat wajahnya, maka akan selalu mengingatkanku akan kebesaran-Mu. Aku lelah dengan cinta yang lain. Cinta yang hanya membuatku jauh dari-Mu.”
🌿🌿🌿
Mentari kali ini harus merelakan dirinya tertutup awan hitam. Kasihan dia, karena sinarnya tak dapat dirasakan oleh alam secara sempurna. Tumbuhan dan berbagai bunga di taman ini juga harus bersedih, sebab kehilangan sumber nutrisi terbesarnya, cahaya matahari.
“Hawa berangkat.” Kusalimi tangan Bang Faris dan Kakek yang pagi ini tengah asyik bersantai di teras rumah.
“Hati-hati. Wa, nanti sore jangan lupa ya!”
Ah, Bang Faris pagi-pagi begini sudah bahas masalah itu. Aku juga ingat, memangnya aku anak TK yang selalu pelupa, atau sorang nenek yang sudah mulai pikun. Hal yang menjadi masalah lainnya, apakah kalimat itu memang harus dikatakan di hadapan Kakek.
“Apakah Kakek harus ikut ke sana untuk memastikan kamu memenuhi janji?” tanya Kakek diikuti sebuah tawa kecil sesudahnya.
Tuh kan, Kakek ikut berbicara. Aku tahu niatnya bercanda, tapi itu sungguh menyebalkan. Syukur saja, kali ini Mira sudah pergi. Seandainya dia ada di sini, dapat kupastikan sesi memojokkanku ini akan terjadi lebih lama dan dalam lagi.
Aku mendengus sebal,“Tidak perlu. Hawa bisa sendiri.”
Tak ambil tempo kuraih helm berwarna hitam pekat yang ada di salah satu bangku, lalu mengenakannya. “Assalamualaikum,” salamku sembari berlalu meninggalkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...