Berita Duka

6.8K 402 7
                                    

"Benarkah itu?" tanya Tante Sarah memastikan. Wajahnya terlihat begitu senang. Begitu pula dengan Mira dan Kakek saat berita bahagia seputar Bang Faris mengiyakan untuk melamar Ghaida secepatnya.

Aku mengangguk semangat. "Kapan sih Hawa pernah bohong sama kalian?"

Senyum semakin merekah dari wajah mereka. Sementara Bang Faris masih terdiam. Paras tampannya kini memerah, mungkin menahan malu.

Lucu banget sih, mukanya Bang Faris kalau lagi malu gini.

"Tapi, kenapa Kak Ghaida? Aku bingung, sejak kapan Bang Faris menjalin hubungan dengan Kak Ghaida?" tanya Mira menyelidik dengan tatapan serius mengarah padaku.

"Jangan tanya aku. Tanya tuh tersangkanya. Aku juga baru tahu,"balasku cepat.

Bang Faris langsung gelagapan. Sama seperti siang tadi saat aku langsung memintanya untuk menikahi Ghaida.

Suasana siang tadi tak akan mungkin kulupakan. Seumur-umur baru kali itu kulihat Ghaida dan Bang Faris sepakat untuk tak banyak bicara.

Saat pertanyaan belum mendapat jawaban, kudapati tangan Ghaida gemetar di bawah meja.

Bang Faris mulai menatapku dan Ghaida secara bergantian. Aku sedikit gugup dengan jawaban yang akan dia beri.

"Kapan orang tuamu bisa aku temui?" tanya Bang Faris sambil menatap lekat wanita pujaannya.

Satu kalimat itu sudah cukup menjadi jawaban atas pertanyaanku.

Ghaida langsung menengadah dengan pelupuk mata yang menganak sungai. Beberapa detik kemudian senyum merekah indah di wajah cantiknya.

Suasana yang sangat melankolis. Aku bersyukur karena telah melakukan hal yang tepat. Terbayar sudah rasanya kesalahanku.

Aku teringat akan sesuatu. Ghaida. Beruang Kutub.

Ghaida mulai membicarakan si Beruang Kutub kurang lebih setahun lamanya. Apakah benar hubungan mereka sudah selama itu?

"Jawab pertanyaanku dengan betul. Ghaida mulai bicara tentang Beruang Kutub kurang lebih satu tahun. Jangan bilang, kalau hubungan kalian memang sudah selama itu." Aku menyelidik sembari mencari kebenaran dari sorot matanya.

Bang Faris mengangguk. Aku sontak terperanjat. "Kami memang sudah selama itu menjalin hubungan."

"WHAT?!!" teriakku dan Mira.

Aku sahabat macam apa yang tidak bisa manafsirkan semuanya? Kenapa baru saja mengetahuinya?

Mereka berdua--Bang Faris dan Ghaida--juga sangat hebat mampu menutupi semuanya, bahkan setahun lamanya.

Aku entah harus berkata apa lagi. Di satu sisi aku bingung, bagaimana bisa si cerewet menjalin hubungan dengan manusia kaku macam Bang Faris? Namun, tak bisa kutepis bahwa mereka adalah dua insan yang saling melengkapi. Dari Ghaida, Abang Faris menjadi pribadi yang lebih hangat dan lebih banyak bicara. Dan dari Bang Faris pula, sahabatku bisa menjadi wanita yang kini kulihat semakin taat dalam beragama.

"Jadi, kapan Mama ke rumah Ghaida, Ris?" tanya Tante Sarah bersemangat.

"Kalau perlu, aku juga akan datang ke sana, untuk melamar wanita itu untukmu." Kakek mengucapkan dengan kalimat yang berapi-api.

"Cukup Mama yang ke sana. Kakek gak usah," ucap Bang Faris usai tepok jidat.

"Jangan ngeyel. Pokoknya aku mau ikut. Titik!"

Aku dan Mira sontak tertawa kecil. Bang Faris hanya bisa mengambil napas dan mengembuskannya kasar. Bahunya yang tegap, kini tiba-tiba diturunkan. "Terserah Kakek saja," balasnya pasrah.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang