Perut yang lapar kini sudah terisi penuh. Sayang saja, sampai saat ini Roy belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, dia sendiri yang memintaku datang ke restoran ini dan menunggunya tepat pukul 14.00 WIB.
Ke mana lelaki itu?
"Kamu chat dong dia itu! Kok, lama banget," saran Ghaida.
Baru saja ingin mengeluarkan ponsel dari dalam tas, tiba-tiba saja dia masuk. Dia berdiri di depan pintu dan perlahan mendekati kami yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari sana.
Seulas senyum dia tampilkan, sambil membenarkan kancing pada pergelangan kemeja berwarna hitam yang sama seperti dia pakai saat ke pernikahan adik Ibu Haura.
"Maaf lama," ucap Roy begitu duduk di seberangku dan Ghaida.
Aku hanya menghela napas lalu menganggu karena memakluminya. Untuk apa juga marah, dia telat juga tidak jadi masalah berarti. Namun, tidak begitu bagi Ghaida. Wajahnya memerah. Rahangnya yang tegas makin menampakkan kemarahan.
"Kalau janji yang benar. Tahu, kan, kalau kamu tuh telat. Syukur aja kami nungguin kamu di sini gak sampe berjamur," ucap Ghaida bersungut-sungut.
"Aku cuma telat dua puluh menit. Gak terlalu lama."
"Ah, sama aja telat," balas Ghaida menimpali.
"Sudah. Gak bosan berantem? Udah kaya kucing sama tikus aja," ujarku dengan suara sedikit meninggi. Kutatap wajah Roy lamat-lamat dan dia juga membalas. "Kamu ada apaa memintaku ke sin?", tanyaku to the point.
"Ini berkenaan dengan hubungan kamu sama Ihsan"
Kenapa dia ini? Apa sih, sebenarnya yang mau dia sampaikan?
Aku memilih diam, menunggu kalimat berikutnya.
Roy merogoh ponsel dari kantong kemeja bagian depan dada. Sejenak dia menyibukkan diri dengan ponsel lalu menyodorkannya padaku. Kulihat ada sambungan telepon dengan Lili.
Apa-apaan ini?"
Kulirik Roy sejenak, lalu mendongakkan kepala sebentar dan menurunkannya seperti memberi tanya apa.
"Dia yang akan menjelaskan semuanya. Bicaralah dengannya secara baik-baik!"
Kuraih ponsel dari tang Roy dan mulai mendekatkannya ke telinga.
Jujur saja, sebenarnya aku malas untuk bertemu dan juga bicara dengan Lili. Aku ingin melupakan segalanya dan mencoba untuk membuka lembar kehidupanku yang baru, tanpa ada bayangan masa lalu. Itu juga yang menjadi alasanku hingga detik ini memutus kontak dengan Ihsan.
"Assalamualaikum," ucap seseorang dari balik telepon.
Ya, itu suaranya. Lili. Walau jarang bertemu, pertemuan kami dapat dihitung dengan jari, tapi aku sudah dapat mengenal suaranya.
"Wa'alaikumussalam," jawabku sekadarnya. Aku bingung harus mengatakan apa lagi. Kami hanya beberapa kali berjumpa, itu pun dalam keadaan yang tidak bisa kusebut baik.
"Wa ...."
"Eh, iya, Li. Ada apa?"
"Aku baru saja mendengar kabarmu dan Ihsan dari Roy."
Aku sontak melihat Roy dengan lekat. Sebentar ... apa yang sudah mereka bicarakan.
"Dengarkan saja apa yang dia katakan," ucap Roy. Dia ini langsung paham maksud dari tatapanku. Aku hanya mengangguk dan mencoba menyimak lagi kalimat yang akan disampaikan Lili.
"Hawa, aku minta maaf karena selama ini sudah ada dalam hubungan kalian. Tak pernah sekali pun aku berniat menghancurkan rumah tangga yang sudah kalian bangun, terlebih saat aku melihat Ihsan begitu mencintaimu--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...