Belajar Bersama

3.7K 233 8
                                    

Kak Reni menghubungiku di malam malam seperti ini. Syukur saja aku belum tertidur, padahal mata sudah sangat mengantuk.

Aku ucapkan salam saat tombol hijau sudah kugeser. Wanita itu mulai mengajakku bicara. Tuturnya lembut, persis seperti mama mertua. Dia menanyai kabarku dan juga beberapa keluargaku yang lain. Tak lupa dia memintaku untuk sering-sering pulang ke Yogya.

"Aku ikut Ihsan saja, Kak. Kalau dia berangkat, ya aku ikut."

"Ngomong-ngomong soal Ihsan, Kakak boleh bertanya?"

Aku mempersilakan. Ternyata wanita itu bertanya seputar keributan yang sedang tercipta di antara aku dan suamiku. Aku ungkapkan semua kejengkelan ini padanya. Dia setia mendengarkan, tanpa ada sedikit pun menyela.

Kak Reni memang paling paham apa mauku. Ah, wanita itu tidak hanya pengertian, dia pun dianugerahi suami yang sangat mau mendengarkan semua keluh kesahnya. Tak salah, sangat jarang terjadi cekcok di antara suami istri itu.

"Coba lihat Kak Yusuf, dia bisa paham dengan Kakak. Sementara Ihsan? Dia benar-benar tidak dewasa, Kak."

"Hai, Dek, boleh aku jujur? Ini akan sedikit menyentilmu."

Aku sekali lagi mempersilakan dia untuk menyambung kalimatnya.

"Ingat, aku dan Yusuf memiliki selisih usia lima tahun. Faris dan Ghaida bahkan hampir sepuluh tahun, kan? Sementara kau dan Ihsan, kalian hanya terpaut tiga bulan. Kau menuntut kedewasaan seorang lelaki yang juga sedang berkembang sepertimu. Wajar, jika ternyata ada cekcok. Dia tidak memahamimu. Begitu, jan maksudnya?

Bukan dia tak mau paham. Aku kenal Ihsan. Dia cukup bertanggung jawab. Tapi ... pengalamannya tidak sebanyak Yusuf dan Faris. Dia masih perlu penjelasan.

Aku pernah di posisimu. Ingin apa-apa serba dimengerti. Tapi, laki-laki itu bukan Badan Intelejen Negara yang bisa paham semua kode dan sandi. Mereka perlu sesuatu yang diterangkan. Begitu pula Ihsan."

"Jadi maksud Kakak aku yang salah?"

"Kalian sama-sama perlu belajar. Saranku, kau belajarlah untuk menghadapi semua masalah dengan kepala dingin. Kalau diajak bicara, sampaikan saja semua apa yang ada di hatimu. Kodrat seorang wanita ingin didengar dan meluapkan setiap masalah. Dan lelaki seperti Ihsan akan siap mendengarkan. Kita lihat saja, setelah itu kalian pasti bisa menentukan jalan keluar."

Aku hanya mendengarkan dengan setia. Tak ada niat untuk interupsi. Sejenak mengangguk sembari memahami apa yang telah wanita ini sampaikan. Baru saja ingin mengucapkan sesuatu, terdengar suara anak kecil menangis dengan sangat nyaring di seberang sana. Ah, sepertinya salah satu dari si kembar.

"Wa, aku tutup dulu. Adib lagi rewel nih. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Setelah ponsel ditutup, aku langsung berpikir, apakah benar apa yang dikatakan Kak Reni? Hmmm ... entahlah. Aku memijat pelipis lembut, tak lama Mira datang, berbaring di sampingku.

Sudah beberapa malam ini dia tidur denganku. Dan hampir setiap dia datang akan aku usir. Ah, salahku kali ini yang tidak mengunci pintu.

"Sana ke kamarmu!"

Aku malas tidur dengannya. Dia itu lasak, cukup membuatku terganggu. Aku mendorong badannya, tapi dia malah membalas, bahkan sambil memukul mukulkan guling. Tak puas, dia malah mendorong dengan kakinya, dan ....

Brak!

"Sakit, Mir!"

Bukannya menolong, dia malah tertawa kencang. Adik durhaka. Aku kembali mengomelinya, sampai Tante masuk. Dia protes dengan kami yang sangat ribut.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang