Kami Ada di Sampingmu

3.3K 238 1
                                    

Sudah setengah jam berlalu, tapi Ihsan masih tidak selesai juga bicara dengan mamanya. Tak hentinya kalimat maaf terlontar dari bibir suamiku itu. Aku tahu, dia pun tak ingin hal demikian terjadi. Tapi bagaimana lagi

Aku jadi teringat saat seminggu yang lalu memperlihatkan potret kemesraan Ghaida saat liburan ke Bali bersama Bang Faris. Debur ombak, pasir pantai, awan biru, dan keromantisan mereka perlihatkan benar-benar membuatku iri. Nasib, tidak pernah berbulan madu.

"Maaf, ya." Kalimat itu berulang kali Ihsan utarakan, salah satunya saat foto kiriman itu.

Ah, aku tidak keberatan. Kebahagiaan dengan suami tidak hanya soal jalan-jalan saja, kan? Menghabiskan quality time di masa week end saja sudah sangat menyenangkan. Sukses menjadi pil semangat setelah seminggu penuh dengan rutinitas yang padat.

Kulihat Ihsan kembali mengacak-acak rambut saat bicara dengan mamanya. Pasti berat baginya.

"Ihsan itu orangnya suka memendam apa-apa sendiri. Harus ada orang yang benar-benar peka terhadapnya." Benar kata Nenek waktu itu.

Saat telepon berakhir, aku lalu mendekat. Aku duduk di sofa, tepat di sampingnya. "Sayang ...." Ah, akhirnya aku luluh juga. Sebutan itu akhirnya aku ucapkan juga. Ini gara-gara Tante Sarah juga yang tempo hari menegurku untuk mengurangi sikap kaku. Mau sampai kapan kikuk sama suami sendiri, ucapnya saat di telepon.

Dia menyentuh tanganku yang ada di pundaknya. "Aku paham. Gak papa, kok. Bukan salahmu." Langsung kurengkuh badannya. Setidaknya sedikit menenangkan hatinya saat ini. Aku harap begitu.

"Silakan kalau mau menangis. Aku ada di sini." Aku tahu dia selalu menangis di setiap sepertiga malam. Aku selalu pura-pura tertidur, saat dia begitu lirih berdoa, berharap kelapangan kubur dan ampunan bagi neneknya.

Benar saja, Ihsan tersedu dalam dekapanku. Semakin kueratkan peluk saat suaranya terdengar lirih.

"Berat bagimu tidak bisa hadir di acara seratus hari beliau. Tapi kita bisa mendoakan dari sini."

🌿🌿🌿

Suara bel berbunyi. Aku sedikit heran, siapa yang datang sore begini. Tidak mungkin Ihsan, karena dia sudah mengatakan akan pulang terlambat karena harus pergi bersama Gaza.

Belum kubuka penuh pintu, Mira langsung mengeluarkan uneg-unegnya. "Lama amat buka pintunya."

"Di mana-mana kalau bertamu itu salam dulu yang diucapkan."

"Iya. Assalamualaikum." Dia langsung berlalu masuk. Belum juga kupersilakan. Dasar, adik tidak tahu diri.

Dia duduk di sofa ruang tamu setelah meletakkan tas ranselnya. Cukup besar. Sudah kutebak isinya adalah beberapa baju untuk beberapa hari. Aku hanya geleng-geleng melihat dia ini dan mengingat ucapan Tante Sarah.

"Wa, bicara dong sama adekmu. Masak dia pacaran sama anak yang gak bener."

"Gak bener gimana?"

"Pacar dia itu urak-urakan banget. Tatoan. Adikmu itu masih polos. Tante takut kalau kenapa-kenapa."

Aku tak heran kalau wanita paruh baya itu amat menjaga dan menyayangi Mira. Adikku adalah pelita hatinya. Mira adalah obat saat Tante baru saja mengalami patah hati karena ditinggal anak perempuannya untuk selamanya. Belum seratus hari umur sepupuku itu, tapi dia harus berpulang ke pangkuan Ilahi karena satu penyakit. Dan di saat yang bersamaan, saat Ayah dan Ibu dipanggil, Mira masih terlalu kecil. Dia juga perlu ASI. Sehingga Tante Sarah dengan senang hati menyapihnya.

Aku suka mendengar cerita Tante Sarah betapa rewelnya Mira saat bayi. Kasihan Tante Sarah sering terjaga di tengah malam karena Mira sering susah tidur dan menangis karena mendadak kehausan.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang