Salahkah Perasaan Ini?

3.1K 221 4
                                    

Aku sudah berdiri tegap menunggu kedatangannya. Tak lama, sosoknya hadir membawa koper besar dan ransel di punggung.

Aku tersenyum senang menatapnya yang melangkah mendekat. Rindu? Ah, dusta jika aku mengatakan tidak. Setiap hari kami hanay bisa berbalas pesan lewat WhatsApp. Telpon hanya sesekali karena mengingat betapa sibuknya dia.

Tuhan, aku merindukan dia. Lihat, tiga minggu tanpaku, dia seperti orang yang tak terurus. Cambang-cambang kecil mulai tumbuh di pipinya.

Aku menyaliminya. Belum sempat dia memelukku, Gaza yang tepat di sampingnya langsung mencegah.

"Kasihan dikit dong, sama teman yang jomlo ini. Bisa, kan, mesranya di rumah aja?"

"Makanya cepetan nikah," celetukku asal.

"Nah, kapan aku dikasih nomor hp-nya Mira?"

Ah, dia membahas adikku lagi. Lagipula Ihsan sudah melarang keras. Entah, aku tak tahu kenapa suamiku itu begitu menentang niat sahabatnya.

🌿🌿🌿

Hal yang aku takutkan ternyata terjadi. Siang itu, selepas aku dan Ihsan selesai menghadiri acara hajatan tujuh bulanan kakaknya Gaza, kami memilih untuk singgah ke salah satu kafe. Sekadar untuk meminum kopi dan camilan seperti kentang goreng atau roti bakar.

Kami begitu menikmati suasana dengan beberapa kisah Ihsan semasa di Bali. Dia berangan-angan suatu saat dapat mengajakku ke sana. Ya, lihat saja. Walau bagiku tak penting berada di tempat sebagus apa pun. Yang penting bersama Ihsan. Terdengar bullshitt? Aku tidak bercanda. Lihat, selama dia pergi bekerja, aku rasanya hampir menggila. Aku tidak bisa lepas lebih lama darinya.

Suasana di luar sedang dihiasi rinai hujan. Kami memandangi semua dari jendela yang berada tepat di samping kami. Jalanan langsung menjadi lengang. Banyak para pengendara sepeda motor memilih untuk singgah dan bernaung. Sementara bagi mereka yang membawa jas hujan, akan kukuh membelah jalanan.

Dua wanita itu kembali ada di depanku. Mereka baru saja masuk saat hujan mulai mereda.

"Hai, San." Kali ini Lily yang menyapa terlebih dahulu.

Tuhan, kenapa dia ini? Tiba-tiba saja seperti ada percikan di dalam hatiku.

Kulihat temannya itu. Ah, dia masih saja seperti kemarin. Tatapannya tidak bisakah sedikit bersahabat? Sumpah, aku membencinya.

"Kalian baru datang? Bergabunglah dengan kami?"

What?! Aku tak salah dengar Ihsan menawari kedua perempuan ini untuk bergabung? Baiklah, aku lebih memilih diam saja.

Lily dan temannya mengangguk, detik berikutnya mereka sudah duduk di depan kami dengan sebuah meja menjadi pembatas.

Aku memijit pelipis, lantas meminta izin kepada Ihsan untuk ke WC sebentar. Di dalam sana aku hanya mematut diri di cermin. Kuingat-ingat penampilan Lily yabg memang selalu memesona. Dia mengenakan sebuah rok panjang selutut berwarna abu-abu dan kemeja bergambar bunga-bunga kecil. Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai. Semakin indah saja, batinku. Hiasannya tak tebal--seperti temannya yang di sebelahnya--tapi tetap saja membuat kecantikannya jauh lebih terpampang.

Sejurus kemudian aku memandangi penampilanku. Gamis berwarna merah marun, kerudung panjang hitam menutup dada, dan flat shoes berwarna hitam. Ah, lipstik di bibirku saja sudah hilang. Mungkin karena makan tadi. Bedak juga sudah lusuh.

Astaga, tasku tertinggal. Bodoh.

"Kok, lama?" tanya Ihsan saat aku baru saja kembali dan duduk di sebelahnya.

"T-t-t-tadi orangnya banyak."

Dia hanya mengangguk, lantas kembali berbicara dengan Lily dan temannya. Sepertinya saat kutinggalkan tadi mereka sudah berbicara macam-macam.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang