Siang itu, matahari sedang berada di atas puncaknya. Angin bertium dengan kencang sampai membuat ujung kerudungku bertebangan. Mereka tertawa riang, sementara hatiku tengah memanas.
"Tentang apa?" tanya Ihsan sembari menepuk-nepuk telapak tangan untuk menyingkirkan butiran.
"Bali."
Ihsan langsung mengernyitkan dahi. "Kamu punya waktu untuk menjelaskan, dan aku akan mendengarkan."
Perlahan dia menarikku menjauh dari semua anggota keluarga. Dia mulai menjelaskan bahwa seminggu usai kedatangan kami ke Bandung, dia akan pergi lagi ke Bali untuk urusan kerja.
"Berapa hari?"
"Tiga minggu."
Aku membulatkan mata secara sempurna. Melongo. Gila sekali, untuk urusan ini dan selama itu dia tidak mengatakan apa pun padaku. "Kamu jahat, ya, San."
Sejak hari itu, hubunganku dan Ihsan kembali mendingin. Terhitung sudah enam hari, dan besok Ihsan akan pergi. Semua keperluannya, seperti baju, beberapa barang untuk cuci diri, dan dokumennya sudah aku siapkan. Satu koper besar sudah berada di sudut kamar, dekat pintu.
"Wa, sampai kapan kamu mau begini? Bukankah sudah aku jelaskan, kalau semuanya juga mendadak."
Aku tetap melangkah ke dalam kamar tanpa peduli dengan apa yang ia katakan. Tak ada juga keinginan untuk membalasnya. Aku malas. Ihsan juga tidak paham dengan apa yang ada di kepalaku.
"Sayang, iya, aku minta maaf."
Aku berbalik. "Jangan minta maaf kalau kamu tidak tahu apa salahmu. Dan jangan minta maaf kalau memang tidak sungguh-sungguh."
"Wa, jangan kaya anak kecil, dong." Suaranya mulai meninggi dari nada bicaranya tadi.
"Aku emang kayak anak kecil. Puas?"
Aku masuk ke dalam kamar, lalu kututup pintu. Terdengar suara pintu yang menghantam dengan keras. Ah, agar dia tahu kalau aku sedang jengkel tingkat dewa.
Ini bukan hanya perihal dia yang tidak bercerita. Aku merasa dia begitu tidak adil. Semua keluarganya tahu, sementara aku malah kebingungan. Apa itu bagus? Aku itu istrinya, tapi kenapa hal sebesar ini dia tidak mau terbuka sama sekali.
Kurang lebih satu jam aku berbaring, barulah dia masuk. Mata sengaja kupejamkan, walau sebenarnya tak dapat juga tertidur dari tadi. Aku memunggunginya dengan cepat, saat kurasakan salah satu sisi kasur yang terasa ada seseorang mulai naik. Beberapa menit kemudian kurasakan seseorang mencium pipiku dan membelainya lembut.
keesokan harinya aku sudah bersiap untuk pergi ke sekolah TK. Aku masih mematut diri di depan cermin. Memoles bedak secara tipis dan mengenakan lipstik berwarna merah muda, senada dengan kulitku yang berwarna putih langsat. Baru saja meraih tas di atas meja rias, dan bersiap berdiri dan bersiap, tiba-tiba Ihsan sudah berdiri di belakangku. Dada yang bidang terlihat jelas. Rambutnya masih basah. Wajahnya terlihat segar karena baru saja mandi.
"Bajumu sudah aku siapkan di sana." Aku menunjuk baju, jaket, dan kaus kaki yang terletak di atas kasur. Seperti biasa, hal seperti itu memang selalu aku siapkan setiap harinya.
Aku ingin berdiri, tapi pundakku malah ditahan dengan ditekan oleh Ihsan. Aku kembali duduk, melihat bayangan dirinya dari balik cermin. "Hmmm ....?"
"Aku tidak bisa berangkat kalau kamu masih seperti ini."
Dia melangkah ke sampingku, berlutut dan berusaha menggapai tanganku, tapi dengan cepat kutarik. Tak mau menyerah, dia memegang daguku, dan memutar kepala ini agar menghadap kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...