Permohonan yang Tidak Sia-sia

3.4K 263 4
                                    

Aku tidak bisa berlama-lama di Jakarta. Ihsan punya kewajiban dengan perusahaan. Karena itulah siang ini juga kami putuskan untuk langsung pulang.

"Padahal baru sebentar. Apa gak bisa Ihsan aja yang pulang dulu. Kamu netap dulu di sini beberapa hari," tutur Ghaida. Eh, enak sekali dia bicara. Aku itu istri orang, tidak mungkin kubiarkan suamiku sendirian tanpa ada yang mengurus.

Perjalanan pulang kali ini aku lebih memilih duduk di kursi belakang. Ingin rebahan. Badanku terasa pegal. Kaki pun masih tidak berkurang sakitnya. Padahal sudah aku urut malam tadi. Ah, mengiris pernikahan orang itu memang sangat menyusahkan. Syukur saja Ihsan paham, dan membiarkanku untuk santai di kursi belakang saja.

Benar saja, sepanjang perjalanan aku banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Saat terbangun, kulihat jalanan Kota Bandung. Lumayan lama juga ternyata aku tidurnya. Aku menggeliat, seraya melenturkan badan.

"Akhirnya bangun juga." Ihsan melihatku lewat cermin depan mobil.

Aku masih terdiam. Mengumpulkan sisa-sisa nyawa. Sesekali menghela napas dalam dan membuangnya. Lalu kupandangi Ihsan yang masih asyik di belakang kemudi.

"San ...."

"Hmmm," jawabnya.

"Mengenai pertanyaan malam tadi, kamu belum kasih jawaban lho." Aku majukan badan dan kucondongkan wajah agar lebih dekat dengan lawan bicara

"Kita bahas di rumah saja, ya." Mendengar jawaban itu aku semakin yakin kalau usahaku gagal total.

🌿🌿🌿

Ihsan baru saja pulang dari tempat kerja. Kali ini ada kemajuan, pulangnya sore, seperti pegawai normal. Syukur saja dia tidak lembur seperti malam-malam kemarin. Kalau dia masih seperti itu, aku sudah mengancam akan memilih pulang ke rumah Kakek saja. Aku rasanya hampir mati kebosanan di sini.

"Aku kerja kan buat kita, Sayang," ucapnya kemarin malam.

Ah, alasan. Memang gila kerja saja orang ini. Apa tidak berpikir bagaimana kesepiannya aku.

"Wa, masak nasi goreng dong," ucapnya sembari melepas dasi.

Aku menatapnya lamat-lamat. Baru juga pagi tadi dibuatkan, eh mau itu lagi. Aku saja sampai bosan memasaknya.

"San, kita makan di luar yuk, malam ini. Baru kali ini lho kamu ada di rumah pas jam segini. Gak salah, kan, kalau aku minta kita jalan-jalan malam ini?"

"Aku capek."

Ah, baiklah. Aku tidak bisa membantah kalimat itu. Aku hanya memilih diam saja lagi sembari duduk di atas ranjang.

"Marah?" Ihsan ikut duduk di samping. "Iya, kita berangkat. Selepas maghrib saja."

Seperti kalimatnya, malam ini kami benar-benar menghabiskan makan malam di luar. Aku tidak perlu tempat yang mewah. Sengaja aku ajak dia makan mie ayam di salah satu warung yang berada di dekat alun-alun. Malam ini banyak pelanggan yang berdatangan. Jalanan juga sedikit ramai. Aku dengar ada konser dari band ibukota di alun-alun sana. Saat lewat tadi aku memang melihat ada sebuah panggung yang sudah berdiri megah.

"Memangnya kapan acaranya dimulai?" tanyaku penasaran pada paman penjual mie ayam.

"Katanya nanti jam sembilan, Neng."

Aku mengangguk sambil ber-oh ria. Tak lama, lelaki itu berlalu pergi, bersiap melayani pembeli yang lainnya.

"Kamu ingat gak dulu zaman kita masih kuliah. Kamu tuh sering naik ke atas panggung untuk nyanyi di acara kampus. Kamu gak kangen sama kegiatan itu, San?"

Lelaki yang aku ajak bicara begitu asyik melahap makanan yang sudah ada di depannya. Dia menatapku, lantas berkata, "Sebelum nikah suka main ke kafe punya teman sebelum pulang dan nyanyi di sana. Tapi, sekarang udah gak ada waktu."

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang