Baru saja aku menutup novel yang baru saja selesai dibaca. Akhir-akhir ini sedikit susah untukku membagi waktu. Mengajar, bersih-bersih, mengurus Ihsan yang makin makin malah makin manja, dan belum lagi kalau malam harus membantu dia dalam menyiapkan beberapa berkas. Dia memang tidak lembur lagi, tapi lebih tepatnya memindah pekerjaan ke rumah. Melihat dia yang bisa minum sampai dua gelas kopi agar bisa menyelesaikan tugas dari kantor, benar-benar membuat aku sendiri merasa tersiksa.
Ihsan patut bersyukur punya istri yang serba bisa seperti aku. Ya, walau aku hanya membantu sebisanya. Aku tidak keberatan, tapi hobiku membaca novel akhirnya ikut terganggu. Biasanya dalam seminggu aku bisa selesai satu buku, tapi ini hampir dua minggu baru bisa menyelesaikannya.
Ihsan baru saja beranjak dari meja makan, meninggalkan laptopnya. Dia ikut duduk di ruang tengah yang kebetulan memang tidak memiliki sekat dengan ruang makan.
"Boleh aku di sini?" Dia menepuk pahaku. Dia bukan bertanya, karena sebelum aku menjawab dia sudah mendaratkan kepalanya di sana.
Dia memejamkan mata sembari mengambil napas teratur. Kupandangi wajahnya sambil mengelus lembut rambutnya.
"Kamu ingat, pas kita jalan di alun-alun itu kamu panggil aku sayang lho. Boleh tidak aki minta kamu memanggilku itu saja?"
Hah, benarkah? Kenapa aku tidak ingat. Aku rasa Ihsan mengada-ada. Lagi pula memanggil dengan sebutan itu entah kenapa membuatku geli.
"Sayang ...." Ah, mendengar Ihsan menyebutnya saja aku merasa merinding begini, apalagi sampai mengucapkannya. Ah, ide bodoh.
Aku itu sudah sangat lama kenal dengan Ihsan. Kami sahabat sejak lama. Kalian pasti paham bagaimana kikuknya ketika sahabat menjadi suami. Aku tahu semua tentang dia. Yang aku kenal adalah Ihsan yang menyebalkan, iseng, dan keras kepala. Dan sisi romantis itu baru aku temui akhir-akhir ini. Terkejut? Pasti. Ada kalanya aku seperti tidak mengenali dia saja.
"Gak, ah. Ide buruk."
"Jangan buat aku ngambek."
Dia mengambil tanganku--masih dengan mata terpejam--yang ada di atas kepalanya, menggenggam tangan itu dengan kedua tangannya, lalu meletakkan di dadanya.
Lihat, dia manja sekali, kan? Aku hanya geleng-geleng melihat semua sikap itu.
"Bayi besar."
Dia membuka mata, menatapku dengan alis yang sedikit terangkat, seperti tidak terima.
"Lalu, kapan ada bayi kecil di sini?" Dia memiringkan badan dan wajah, lalu menciumi perutku.
Apa dia tidak mengerti dari ucapan itu? Seketika aku bingung menjawabnya. Ah, bulir bening itu kembali menganak sungai di pelupuk mata. Aku mengalihkan pandangan, agar dia tak melihat kerapuhanku yang nyatanya masih tak terobati.
"Sayang." Aku tidak menghiraukan panggilannya.
Tuhan, aku tahu kalau anakku sudah tenang di sana. Tapi kenapa hatiku masih sakit? Apakah aku berlebihan?
🌿🌿🌿
Pagi ini aku kembali berdebat dengan Ihsan. "Berkali-kali sudah aku katakan jangan, kenapa masih ngeyel, sih?" Aku sudah menaikkan nada suara.
"Jangan melawan. Pokoknya aku antar."
Ngajar sebelah komplek, masih saja harus diantar. Ini sudah sebulan, dan masih saja dia bersikap demikian.
Ibu Haura yang pagi ini kena tugas menunggu di depan gerbang kembali menyambut kedatanganku dengan senyum penuh arti. Aku tahu tatapan itu. Ah, sebal.
"Sudah, sampai sini saja. Aku bisa turun sendiri. Bye ...." Secepat kilat aku turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Ihsan yang bersiap untuk pergi ke kantor.
"Pagi-pagi udah bikin orang kena diabetes aja nih, Bu Hawa."
"Hah? Apa, ya, maksudnya?"
"Kalau yang manis-manis begitu, jangan terlalu diumbar. Kasihan yang lihat. Nanti diabetes."
Owalah. Itu ternyata maksudnya. "Derita punya suami bucin, Bu Haura." Kutinggalkan dia yang malah terkekeh usai mendengar penuturanku.
Tak lama bel masuk kelas pun berbunyi. Menjalani aktivitas dengan mengajar anak-anak itu menjadi terapi bagiku. Lihat saja, canda tawa mereka itu begitu menggemaskan.
"Bu, ada yang muntah, tuh." Aku lihat Ayu sudah menangis di pojok kelas.
Dengan cepat Bu Tina membawa anak itu ke kamar mandi untuk dibersihkan. Sementara aku sibuk membersihkan lantai kelas yang sempat menjadi korbannya Ayu. Anak-anak yang lain menampakkan wajah rasa jijik dengan kotoran yang ada. Mereka menjauh. Ya, setidaknya memberi ruang untukku membersihkannya.
"Ayu lagi sakit, ya?" Kuraba dahi anak itu. Suhunya normal. Entah, mungkin dia salah makan saja pagi tadi.
Nasib baik, saat bel pulang berbunyi, bersamaan dengan Roy yang sudah berdiri di depan teras kelas. Kalau seperti hari biasanya, dijemput sang ibu, malah akan selalu terlambat.
Roy menunjuk aku sebentar, lalu mengamati dari atas ke bawah. "Bukannya kamu kemarin berhenti?" Iya, ini pertemuan pertama kami setelah sore yang menenangkan itu.
"Bosan di rumah terus."
Setelahnya aku jelaskan mengenai kejadian yang menimpa keponakannya. Dia langsung melipat lutut, memandangi wajah Ayu dengan lekat. Dia langsung menggendong dan mengusap kepala anak itu berulang kali.
"Badannya gak panas. Kayaknya salah makan aja, sih." Roy hanya membalas ucapanku dengan mengangguk. Lalu dia beranjak pergi menuju mobil. Meletakkan anak itu di bangku depan, memasangkan safety bealt, lalu menutup pintu mobil.
"Hati-hati ya, di jalan."
Baru saja aku berbalik dan belum sempat melangkah pergi, tangan lelaki itu menggenggam pergelanganku. Membuat dadaku berdegup lebih kencang dari biasanya.
Aku berbalik lagi, mengokohkan kaki. Akan tidak lucu kalau karena ini aku malah limbung dan jatuh.
"Mau sekalian aku antar?"
Aku melepas dulu pegangannya. "Masih ada yang harus aku kerjakan. Kalian pulang saja. Terima kasih untuk tawarannya."
Aku mengatur kalimatku dengan susah payah. Dan aku pun merasa penuturanku itu terasa sangat kaku.
Sebelum masuk ke mobil, dia menatapku lagi lekat. Aku tak salah dengan tatapan itu. Mata yang sama. Bulat dengan binar harap di sana.
Apakah aku tak salah? Aku menggeleng. Tolong, hentikan semua ini. Semua ini salah, Roy.
Aku tahu, cinta adalah fitrah dari Tuhan. Dia juga anugerah yang tak dapat ditebak kapan datang dan perginya. Dan aku tak dapat mencegah hamba-Nya untuk menaruh hati padaku. Namun sayangnya, orang itu bukanlah insan yang tepat.
Dia salah kalau selalu menetapkan hatinya padaku. Aku tak sedikit pun menaruh perasaan padanya.
Kau laki-laki yang baik. Sayang ... bukan kau yang ada di hatiku. Maaf. Maafkan aku. Sejak dulu Ihsan sudah bersemayam di hatiku. Kau tak 'kan bisa merobohkan dinding itu.
🌿🌿🌿
Malam kemarin ketiduran lagi. Ya Tuhan 😭😭😭
Maaf ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...