Cerai

8.5K 461 1
                                    

Aroma kopi sudah menyeruak dari cangkir yang masih aku pegang. Masih panas, terlihat dari asapnya yang mengepul keluar dan tangan yang harus sedikit menahan ketika memegang cangkirnya.

Kopi. Ya, minuman itu selalu mampu menenangkan jiwaku. Banyak yang beranggapan aku aneh karena begitu memuja cita rasanya. Tak terkecuali dia. Ihsan.

Tuhan, kenapa aku harus selalu mengingatnya?

Lagi dan lagi ingatan tentangnya kembali hadir. Selalu dihalau agar tak terjadi. Namun, apalah aku? Hati, otak, dan badanku tak dapat bersinergi dengan baik.

"Sayang ...." Suara Tante Sarah sudah berada di dekat pintu kamar.

Aku membalik badan. Melihat wajahnya yang begitu ayu dengan sedikit garis di sudut mata. Wanita itu tak hentinya menyulam senyum yang selalu mampu meneduhkan hati setiap insan yang menatapnya.

Tante membelai lembut kepala yang tertutup hijab instan berwarna merah ini. Sesekali dia menepuk pundak dan mulai mengatur duduk di ujung ranjang. Tepat di sampingku.

"Wajah cantik keponakanku kenapa beberapa hari ini selalu murung?"

Sejak kepulanganku dua hari yang lalu, tak ada senyum, tak ada kata yang bisa kusajikan. Hanya ada air mata yang mampu keluar sejak hari pertama kaki menginjakkan kaki di istana yang dibangun Kakek inu.

Berkali-kali mereka bergantian menanyai sebab air mata yang bercucuran tiada henti dari mata, tapi bibir masih tak sanggup untuk mengutarakannya. Aku masih tak tahu kalimat seperti apa yang pantas diucapkan untuk mengurai benang yang sudah terlanjur kusut.

Ghaida mungkin bisa saja menjelaskan segalanya pada anggota keluargaku, tapi aku melarangnya. Biar aku mencari waktu yang tepat. Walau aku sendiri tak tahu kapan waktu itu tiba.

"Tante mau belanja bulanan. Kamu mau ikut?"

Aku hanya menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan. Pada detik berikutnya kulihat wajah Tante Sarah yang menyimpulkan senyum, kini langsung ubah. Datar. Beberapa waktu berikutnya, dia kembali mengukir cekungan sabit itu dan mengelus pipiku lembut.

"Bicara dengan Tante. Ada apa, Sayang?"

"Hawa ... Hawa hanya ...." Susunan kalimat yang aku rangkai sedari tadi masih tak dapat keluar dari mulut. Berat sekali.

"Ada masalah apa, Sayang."

Pertanyaan Tante mengisyaratkan sebuah kekhawatiran yang mendalam. Seperti seorang ibu yang sedang bertanya kepada putrinya.

"Tinggalkan Hawa sendirian dulu, ya, Tante."

Dia hanya mengangguk lantas pergi meninggalkan seorang diri yang malah menyibukkan diri dengan meringkuk di atas ranjang.

🌿🌿🌿🌿🌿

Kakek begitu antusias bercerita. Beberapa kali Tante Sarah dan Mira tertawa bahkan sampai terpingkal-pingkal. Namun, entah mengapa semua kalimat itu tak menarik bagiku.

Kulihat wajah harap dari Kakek setiap memulai kisah, tapi selalu berakhir datar saat melihat aku yang masih menganggap semuanya sekadar angin lewat. Mungkin ... dia kecewa karena candaannya kali ini tak mendapat respon seperti biasanya.

Aku harus apa? Pura-pura tersenyum seperti hati dalam keadaan baik-baik saja? Aku tak sanggup.

Sering aku berdusta, berakting di hadapan mereka. Dulu, sebelum aku merasakan sakit yang begitu menghujam jantung seperti kali ini.

Sesak yang kubawa dari Bandung masih tak mereda. Yang ada malah semakin dalam dan sakit.

Bang Faris tiba-tiba saja masuk. Wajahnya menampilkan gurat lelah karena seharian bekerja dan ditambah lagi lembur sampai jam delapan baru bisa pulang ke runah.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang