Namanya Juga Manusia

3.1K 213 3
                                    

Akhir tahun yang dinanti akhirnya tiba jua. Ihsan sudah menyiapkan beberapa destinasi. Anggap saja sebagai bulan madu tertunda, katanya. Dia bersikeras untuk membawaku ke luar dari Pulau Jawa.

"Jadi, mau ke mana?"

"Kita ke Yogya aja, ya, San."

Dia mengernyitkan dahi. Lalu menggeleng. "Yang, kita bulan madu, bukan pula g kampung."

Iya, aku tahu, tapi aku maunya ke sana. Sudah aku jelaskan jua dari kemarin-kemarin, bulan madu bisa kapan saja. Lagipula Ihsan sudah cukup lama tidak menemui orang tua dan keluarganya. Beda denganku yang terhitung setiap dua minggu pasti akan ke Jakarta.

Aku yakin, Ihsan sudah sangat merindukan keluarganya. Sudahlah, saat ini yang terpenting adalah kebahagiaannya. Aku akan senang jika dia bisa tersenyum dan tertawa lepas.

Lelah berdebat, tapi Ihsan untuk kali ini memilih mengalah. Kepulangan kami ke Yogya kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya.

Kak Reni dan Kak Yusuf seperti biasa menjemput kami di bandara. Sepanjang perjalanan mereka sudah berbicara mengenai berbagai macam tempat yang akan dikunjungi. Ya, aku yakin ini akan menjadi liburan akhir tahun yang paling berkesan.

Dua hari usai kedatangan itu, kami sekeluarga berangkat menuju Pantai Parangtritis yang terletak di daerah Bantul. Kurang dari satu jam kami sudah sampai di sana. Si kembar dengan cepat menarik Ihsan dan Kak Yusuf untuk bermain di bibir pantai. Sementara aku, mama mertua, Kak Reni, dan juga ayah mertua memilih untuk mengeluarkan beberapa barang bawaan. Ada air, makanan yang pastinya sudah disiapkan mama mertua dari rumah.

Bagi mama mertua, anak kecil jangan dibiarkan terlalu banyak jajan di luar. Kita tidak tahu apakah makanan itu higienis. Lebih baik semuanya disiapkan dari rumah. Pasti jelas kesehatannya. Ya, wanita itu benar.

"Wa, ayo!" Ihsan mengulurkan tangannya saat aku baru saja ingin melepas sepatu.

Aku raih tangan itu, lalu kami berlari dengan kaki telanjang. Aku rasakan pasir-pasir kecil melalui salah satu telapak kakiku. Setidaknya aku masih bisa merasakannya, ya walau hanya dengan salah satu kaki.  Kupandangi sekitar. Birunya langit berpadu dengan birunya laut. Debur ombak menggulung dengan ritme yang lembut. Air menyentuh kaki kami, membawa sensasi hangat dan sejuk secara bersamaan.

Ya Tuhan, indahnya ciptaanmu.

"San ...." Aku mulai mau marah marah lagi saat Ihsan dengan sengaja melempar butiran air ke wajahku. "Nakal banget."

Aku dorong badannya, hingga terjatuh. Celananya yang berwarna cokelat muda dan kaus berwarna hitam itu sontak menjadi basah. Dia cukup terkejut, sedang aku tertawa puas.

"Awas kau!" Dia mulai bangun, dengan sigap aku berlari. Ah, untuk urusan seperti ini aku tidak boleh kalah. Tapi sayang, dengan cepat Ihsan sudah menangkapku ke belakang. Dia merangkul dari belakang, lalu tak dapat lagi kurasakan kakiku yang menapak di atas pasir. Dia memutar, membawa lagi ke bibir pantai, lalu bersiap menjatuhkanku, tapi aku langsung berteriak, "Jangan!"

Dia langsung menurunkanku. Napasnya tampak terengah-engah, begitu pula aku. Saat dia lengah, aku kembali berlari, mendekati mama dan ayah mertua yang sedang duduk di atas tikar.

"Ma ...." Aku berlindung di belakang tubuh wanita paruh baya itu.

"Udah, San. Udah gede juga kalian ini."

"Ma, dia yang mulai duluan."

"Eh, apa-apan." Aku tidak terima. "Kamu yang mulai duluan." Kujulurkan lidah, mengejek dia. Dia tampak geram. Lihat saja, tatapannya yang mulai tajam itu. Setelahnya dia mengangkat kedua tangan. Gencatan senjata. Bukankah sudah kukatakan, untuk kali ini aku tidak akan kalah.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang