Jenazah Kak Lina sudah dibawa menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ihsan juga ikut Roy dan keluarganya untuk pergi ke sana. Sementara aku memilih berdiam diri di rumah ini bersama Ayu. Anak kecil itu selepas salat Zuhur tadi mulai mengatakan kalau matanya mengantuk. Aku dengan segera membawanya ke kamar, membaringkannya di atas ranjang. Belum sempat aku melangkah pergi, dia mencegah. Tak bisa tidur kalau sendirian, ujarnya.
Aku ikut berbaring di sebelahnya. Kubelai lembut dada dan tangannya, untuk meyakinkannya bahwa aku tak bergerak sedikit pun darinya.
"Dia baru aja tidur. Jangan dibangunin. Kasihan," ucapku pada Roy. "Sekali lagi, aku turut berduka cita, ya. Kalau ada apa-apa hubungi kami."
"Sayang, yuk, kita pulang." Ihsan merangkul bahuku. Tak lama, aku pun mengikuti langkahnya menuju mobil.
Karena teringat dengan kalimat Ayu perihal ajakan Kak Lina untuk mengajak anak itu ke kebun binatang, akhirnya aku meminta Ihsan untuk sesekali mengajak kami ke sana. Sekali-kali pergi bertiga.
Dan di sinilah kami. Suasana kebun binatang sedang ramai karena ini merupakan akhir pekan. Ada berbagai macam satwa yang berada di dalam kandang. Ayu begitu antusias sejak di perjalanan. Dan ketika sampai, dia semakin menampakkan ketertarikannya. Dia menarikku untuk melihat berbagai macam jenis burung. Ada beragam warna dan dengan corak yang berbeda. Ayu banyak bertanya mengenai namanya, sedang aku tidak tahu sama sekali. Sementara itu Ihsan sibuk memotret keseruan kami.
Kurasakan sikap Ihsan sangat hangat pada anak itu. Dia sering sekali mengambil alih Ayu dari gendonganku. Sesekali diciuminya pipi itu lalu mengajak bercanda. Sepanjang perjalanan pulang terisi penuh dengan suara tawa mereka.
"Maaf sudah merepotkan kalian," ucap mamanya Roy saat kami sudah berada di teras.
Ihsan dengan segera masuk, membaringkan tubuh Ayu di atas sofa. Kasihan, setelah asyik jalan-jalan hampir seharian, dia rupanya kelelahan juga. Tak lupa Ihsan meletakkan sebuah boneka Mickey Mouse di pelukan Ayu. Boneka yang tadi siang sengaja ia belikan.
Kami melihat Ayu seperti tak bisa lepas pandangannya dari boneka itu saat jalan mau pulang dari kebun binatang. Melihat itu, Ihsan inisiatif membelikan. Ya, walau Ayu sendiri tidak ada mengatakan apa pun.
"Seandainya saja bisa mengajak anak itu menginap di rumah kita."
Ihsan memutar kepala sembilan puluh derajat, menatapku dengan tangan yang masih sibuk mengendalikan jalannya mobil.
"Tante gak baka kasih izin."
Iya, aku tahu itu. Makanya aku beri kata "seandainya". Jujur, aku senang saat Ayu ada di antara kami. Dia membuat semua menjadi lebih hangat dan lebih berwarna.
Apakah ini pertanda sudah saatnya kami punya anak? Ah, aku berpikir apa, sih?
🌿🌿🌿
Setiap malam aku sangat senang menonton televisi sambil menyandarkan kaki di sofa. Sengaja kucopot kaki palsu agar pergerakan lebih luwes.
Baru juga mendaratkan bokong, sebuah panggilan dengan nama Ghaida tertera di layar.
"Dek."
Ah, ini bukan suara Ghaida.
"Ada apa, Bang?"
"...."
"Ya Allah, aku kira ada apa tadi nelpon malam-malam begini. Ya, itu wajar. Aku dulu juga gitu, kok. Udah, calm down, dong."
"Masa? Tapi aku ...."
"Percaya, deh. Intinya, lihat aja dulu sama apa yang terjadi. Nah, kalau dia emang udah gak sanggup, baru bawa ke rumah sakit. Kalau sekadar morning sickness biasa, ya semua ibu hamil juga mengalaminya, Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
Genç Kız EdebiyatıFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...