Dua minggu sudah aku di Bandung, dan sekarang harus pulang dulu ke Jakarta karena tiga hari lagi Bang Faris dan sahabatku akan menikah. Ihsan kulihat beberapa kali menggaruk tengkuk, tingkahnya tampak kikuk saat sudah di depan teras rumah Kakek.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa," jawabnya.
Baiklah, sebenarnya aku paham. Pasti tidak mudah bagi suamiku ini untuk datang ke sini, terlebih setelah perang besar yang baru saja terjadi. Lihat saja, dia semakin mengeluarkan tingkah yang semakin kikuk begitu memasuki rumah. Sementara Tante Sarah dan Mira yang menyambutku di depan pintu terlihat sangat senang. Aku langsung memeluk mereka erat. Padahal baru beberapa minggu aku meninggalkan mereka, tapi rindu benar-benar berhasil memenjarakanku.
"Ayo, Nak Ihsan, masuk." Tante Sarah selalu punya sikap yang hangat. "Kalian pasti capek. Langsung ke kamar saja, ya. Tante sudah siapkan kamarnya."
Sepanjang jalan menuju kamar, aku seperti anak kecil yang selalu tak mau lepas dari rangkulan Tante. Sampai-sampai aku lupa kalau Ihsan berada di belakangku dan tengah sibuk membawakan koper kami.
"Lihat, San, istrimu ini manjanya nggak ketolongan."
Aku memanyunkan bibir. Seperti tidak diterima dikatai seperti itu.
Baru juga asyik bercanda di depan kamarku. Eh, tetiba kehadiran seseorang langsung membuat aku dan Ihsan membeku untuk sementara waktu. Dia--sosok itu--berjalan dengan langkah cepat, garis wajahnya yang tegas semakin tampak, dan tatapan matanya tidak sedikitpun memberi aura sejuk.
"Kalian baru sampai?" tanya Bang Faris.
Aku mengangguk. Sementara Ihsan menjawab pertanyaan lelaki itu dengan terbata-bata, "I-i-i-ya, Bang. Baru aja."
"Wa, kamu istirahat saja. San, temui aku di ruang tengah. Ada yang ingin aku bicarakan."
Ihsan hanya mengangguk setuju, namun aku malah membulatkan mata secara sempurna. Apa yang akan dilakukan lelaki itu?
Suasana hangat yang tercipta tadi mendadak dingin. Dia tidak mewarisi sikap Tante Sarah sebagai mamanya.
"Bang ...." Aku hanya bisa memandangi punggung Bang Faris dan Ihsan yang mulai menjauh.
"Sudah, biarkan saja," Tante Sarah berusaha menenangkan.
"Tapi kal--"
"Kamu istirahat saja di kamar. Kamu tahu sendiri kalau abangmu itu tidak suka dibantah."
Aku seharusnya menolak kalimat Tante Sarah. Lihat, sudah sejam aku di kamar ini, yang ada malah sibuk melihat jam. Bagaimana mau istirahat kalau begini? Ah, kenapa mereka lama sekali? Apa yang mereka bicarakan?
Aku sudah mencoba menenangkan diri dengan beraktivitas, seperti mengurusi beberapa baju dan barang bawaan. Memasukkannya ke lemari dan beberapa alat make up kutaruh di atas meja rias. Tapi tetap saja tidak berhasil. Tahu akan jadi begini, lebih baik aku ikut saja ke ruang keluarga tadi. Uh!
Aku beberapa kali menatap pintu, dan tepat satu jam setengah, akhirnya Ihsan masuk. Pintu memang sengaja tak aku kunci. Aku langsung menghampirinya, lalu kuperiksa pipi, bagian mata, dan lengannya.
"Kenapa sih?
"Kali aja Bang Faris nekat kaya kemarin."
Ihsan malah tertawa kecil mendengar pernyataanku. "Tidak. Kami hanya bicara antar sesama lelaki. Sudah, semuanya baik-baik saja." Tak lupa Ihsan menggosok pucuk kepalaku. Akhir-akhir ini dia seperti memiliki hobi baru. Apa enaknya mengusap kepala orang? Tapi ... jujur, aku pun menyukainya. Seperti rasa dimanja oleh suami sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...