Hari peringatan ulang tahun mama dan ayah mertua hari ini berlangsung dengan sederhana. Hanya mengumpulkan beberapa anggota keluarga yang memang berada di Yogya.
Dapur dapat dipastikan sangat heboh dengan kesibukan para wanita. Aku, Kak Reni, dan beberapa sepupu Ihsan sangat kewalahan. Banyak hal yang kami urus. Aku saja bolak-balik ke dapur hanya untuk mengambil kue dan membuatkan air minum untuk mereka yang sedang duduk santai di ruang tengah.
Mereka--mama dan ayah mertua-- sebenarnya menyuruhku untuk santai saja, ikut mereka berkumpul dengan keluarga yang lain. Namun, rasanya tidak etis di saat perempuan di keluarga ini sedang sibuk di dapur, aku malah santai-santai saja.
"Wa, kamu ternyata di sini," ucap Ihsan setelah memasuki dapur.
"Emangnya kenapa?" tanyaku penasaran.
"Acara sudah mau mulai. Yuk, ke ruang tengah!" Secepat kilat Ihsan menarik tangan kananku, aku sontak terkejut dan ikut saja. Namun, betapa cerobohnya aku tidak menyadari kalau celemek masih melekat di badan.
"San, sebentar." Kumelangkah kembali ke dapur, melepas celemek, lalu bergegas mengikuti langkah Ihsan menuju ruang tengah.
Semua keluarga besar sudah berkumpul. Suasana siang ini yang hangat berpadu dengan cinta yang begitu lekat mengudara di rumah ini. Semua tampak tersenyum dan bahagia, terlebih pada wajah ayah dan mama mertua. Mereka patut berbahagia karena hari ini adalah hari spesial perayaan ulang tahun pernikahan yang ketiga puluh tahun. Bukan usia yang sebentar, mereka pasti sudah melalui banyak terpaan hingga bisa kokoh seperti sekarang.
Mama mertua begitu antusias memotong kue tart yang di bagian atasnya ada lelehan cokelat. Ada hiasan bunga di salah satu sisi dan lilin di bagian tengah membentuk angka tiga puluh. Asap bekas api masih mengepul di sana.
Potongan pertama kue bukannya untuk pasangan masing-masing atau anak mereka--Ihsan dan Kak Reni--,tapi malah untuk si kembar, Adib dan Arif.
Benar kata orang, bahwa sesayang-sayangnya orang tua dengan anak, mereka akan jauh lebih sayang dengan yang namanya cucu.
"Wa, San, lihat kemari!" pinta Kak Yusuf sembari mengarahkan lensa kamera kepadaku dan Ihsan.
Lamunanku langsung buyar. Ah, di saat seperti ini masih sempat-sempatnya saja aku berkhayal.
Kuukir cekungan sabit di bibir seindah mungkin. Tiba-tiba jantung ini sontak memompa cepat saat tangan kiri Ihsan meraih pinggulku dari belakang.
Kupandang sekilas wajahnya dengan tatapan tak percaya. Wajahnya begitu santai. Masih bisa tersenyum ke arah kamera, sementara aku ... ah, aku tidak tahu sudah semerah apa pipi ini.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿
Malam yang diguyur hujan seperti menambah sensasi dingin yang berhasil menusuk kulit lalu tembus melalui pori-pori.
"San, kita kapan pulang?" tanyaku.
Ihsan yang duduk di sebelah dengan bersandar di kepala ranjang lantas menutup buku yang sedari tadi dibaca.
"Memangnya kenapa?"
Ah, suka sekali dia ini menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.
"Aku tidak tega kalau lebih lama lagi ada di sini. Bukannya aku tidak suka dengan orang tuamu dan juga Nenek, hanya saja aku tidak sanggup untuk berbohong lebih lama. Kasihan mereka."
"Kamu tenang saja, aku sudah pesan tiket untuk kepulangan kita lusa nanti." Ihsan kembali fokus pada bukunya.
"San!"
"Apa lagi?" Matanya tak beranjak dari buku.
"Matikan AC-nya, dong! Aku gak tahan," pintaku sembari menahan rasa dingin yang mendera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...