Malam ini suasana tampak riuh karena kami sekeluarga sedang sibuk mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah Ghaida.
Ya, malam ini secara resmi Bang Faris akan melamar dan diadakan pertunangan mereka.
Tak henti-hentinya Bang Faris menggosok telapak tangan di atas paha.
"Udah, gak usah gugup gitu, deh," ucapku seraya menertawakan tingkah Bang Faris.
Wajahnya langsung memerah bagai kepiting rebus. Melihat itu, aku sehati sekali dengan Mira untuk menertawakannya dengan kencang.
"Kenapa sih gugup sampai segitunya?" tanya Mira yang dengan nada mengejek. Setelahnya terdengar lagi suara tawa dari Mira.
Suaraku juga ikut memenuhi udara di kamar ini. Sungguh, kebahagiaan sekali bisa menertawakan si Tuan Jutek ini. Tak apa aku puaskan saja tawa ini.
"Kalian ini, huh! Wajar aku gugup. Tanya tuh Hawa, gimana dia dulu? Apa gak gugup?" tanya Bang Faris setengah berteriak.
Aku langsung terdiam, begitu pun mereka.
Kenangan tentang masa lalu, masih ada di hati, beserta lukanya. Dadaku seperti kaca rapuh yang sekali dilempar kayu langsung pecah berhamburan. Berantakan.
Tak kusangka, ternyata masih sesakit ini.
"Dek ...." ucap Bang Faris penuh kehati-hatian.
Aku menggeleng sekilas, dan baru kembali ke alam sadar. "Abang pakai sendiri, ya, dasinya? Atau Tante aja deh yang pasangin." Kuserahkan dasi hitam dengan motif batik ke tangan Tante Sarah. "Aku dan Mira tunggu di luar. Ingat, jangan buat kami menunggu terlalu lama!" suruhku.
Kutarik langsung Mira yang sedari tadi begitu asyik duduk di atas kasur, tepat bersebelahan dengan Bang Faris.
Mendapati gerakanku yang cukup cepat, dia refleks mengikuti, walau langkahnya sempat bermasalah karena sulit menyeimbangkan badan akibat sepatu berhak tinggi.
"Bentar, Kak."
🌿🌿🌿🌿🌿
Mobil sudah melaju membelah jalanan Ibu Kota. Syukur saja, tidak macet, sehingga perjalanan kami menuju rumah Ghaida tidak mendapati kendala.
Kulirik Bang Faris yang duduk di belakang.
Ya ampun, masih saja dia segugup itu. Mau sampai kapan, sih? Baru juga lamaran, gimana nanti pas akad.
Aku teringat dulu saat aku duduk cemas menunggu kedatangan Ihsan dan keluarganya yang tak kunjung sampai di masjid tempat acara akad nikah kami berlangsung, Bang Faris bukannya menenangkan, malah menertawakan dan mengatakan kalau aku tidak sabaran.
Tahu rasa, kan, kamu sekarang, Bang? Aku terkekeh sejenak.
"Kenapa ketawa?" tanya Bang Faris dengan nada ketusnya.
Ya Allah, ini orang di saat kaya gini masih aja kelakuan aslinya keluar.
"Gak papa." Aku menggeleng kuat, lalu kembali lagi duduk dengan benar menatap ke depan, jalanan dari balik kaca jendela.
"Semua gak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Tante Sarah memastikan.
"Tan, berapa kali sih nanya itu mulu?" balas Mira yang kini tengah sibuk mengemudikan mobil. Matanya masih tak beranjak dari menatap jalan dengan saksama.
Benar juga kata Mira. Sejak berangkat, sampai hampir sampai seperti ini entah sudah berapa kali Tante Sarah bertanya hal yang sama. Wajar. Ini, kan, pengalaman pertamanya bahkan satu-satunya untuk mengantar anaknya menuju gerbang pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
Chick-LitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...