Hanya Sebatas Itu

4.9K 418 11
                                    

Makan malam berlangsung dengan sangat hangat. Semua anggota keluarga Ihsan sudah berkumpul di ruang makan, sedangkan para saudara ayah mertua dan sepupu lainnya sudah pulang sore tadi.

Makanan yang telah tersaji di atas meja terlihat sangat menggugah selera, begitu pun dengan aroma yang sudah memenuhi indera penciuman. Kutatap Ihsan yang duduk di sebelah, kini sedang lahap sekali menikmati nasi dengan sayur lodeh dan sepotong ayam goreng. Melihat cara makannya, dia seperti orang yang sudah kelaparan akut saja. Mungkin ... itu adalah bawaan karena terlalu lama tidak merasakan masakan mamanya. Kita semua tahu, sesedap apa pun makanan di restoran bintang lima, tetaplah tidak akan bisa menggantikan sebentuk kenikmatan masakan buatan seorang wanita yang biasa disebut mama.

Mama mertua memang sangat pandai dalam hal masak. Wanita paruh baya itu sore tadi sangat cekatan bekerja di dapur. Aku hanya membantu pada beberapa hal yang memang dikuasai. Jujur saja, bertahun-tahun hidup sebagai wanita karier yang selalu sibuk dengan urusan kantor, membuatku sangat payah dalam hal dapur. Tidak jarang Ihsan berkomentar pedas terhadap masakan yang aku buat. Tentu saja, komentarnya itu meninggalkan rasa sakit di dada.

Sepertinya, aku harus banyak belajar dari mama mertua, dengan harapan setidaknya mampu membuat Ihsan senang dengan masakan yang kusajikan.

"Jadi, kalian itu kapan akan punya anak?" tanya ayah mertua.

Makanan yang sedari tadi aku makan, kini mendadak mengganjal di tenggorokan. Tersedak. Aku sampai batuk berkali-kali sembari menepuk dada.

"Minum dulu, Sayang!" Nenek yang duduk di sisi kanan badanku langsung menyodorkan gelas yang berisi air putih. Secepat kilat kuminum hingga isinya tandas.

"Iya, San, kapan kalian program kehamilan? Saranku, jangan ditunda-tunda. Rumah ini sudah lama tidak ada suara tangis bayi. Anak-anakku pasti sangat senang punya sepupu. Kalau bisa nanti anaknya cewe, ya, soalnya kan sudah ada si kembar cowo ini." Kak Reni mengucapkannya dengan santai sekali, lantas ada sedikit senyum seperti menggoda yang terukir di bibirnya.

Ah, semakin lama aku di sini, dapat dipastikan pembahasan akan lebih rinci. Apakah aku kuasa untuk bertahan mendengarkan semuanya?

Bicara tentang hamil atau anak, aku juga sangat menginginkannya. Setiap pernikahan pasti akan terasa sempurna dengan kehadiran buah hati, tapi mengingat keadaan rumah tangga yang kubangun bersama Ihsan, hal itu seakan masih jauh dari harapan.

Rumit. Tidur di satu ranjang yang sama saja tidak pernah. Sampai detik ini, kewajiban sebagai seorang istri masih belum bisa aku tunaikan. Kehidupan pernikahan kami memang tidak seperti pasangan lainnya. Entah, sampai kapan Ihsan akan bertahan untuk cuek padaku?

"Kakak tenang saja, ini juga lagi otewe."

Astaga, apakah aku tidak salah dengar? Bisa-bisanya Ihsan mengatakan itu. Dia benar-benar membuatku malu bukan kepalang. Sontak aku menunduk guna menyembunyikan wajah yang sepertinya sudah sangat merah laksana buah ceri yang siap panen di musim semi.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

"San, jadi kamu malam ini tidur di mana?" tanyaku pada Ihsan yang baru saja masuk kamar.

Dia melangkah mendekat sambil berkacak pinggang. "Apa maksud kamu? Tentu saja aku tidur di sini. Ini kamarku."

Ihsan langsung berlalu ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, dia keluar dengan mengenakan kaos berwarna putih dan celana panjang selutut berwarna cokelat muda. Seperti tidak menganggap keberadaanku, dia lewat begitu saja melewatiku yang sedang berdiri mematung memikirkan cara terbaik memejamkan mata pada malam ini.

Aku berbalik badan, sambil menatap Ihsan yang sudah merebahkan badan di atas ranjang. Apakah aku yang harus tidur di luar? Lebih baik daripada tidur di lantai. Namun ... aku dulu melarang Ihsan tidur di luar dengan alasan takut keluarga akan curiga. Ah, apakah aku harus tidur di lantai?

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang