"Semua sudah beres, San?" tanyaku sambil membuka pintu kamar. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban.
Pagi ini Ihsan akan pulang lagi ke Bandung. Sedih? Entahlah. Aku bingung. Melihat sosoknya ada di depan wajah kembali membuatku ingat pada setiap setiap torehan luka yang berhasil dia buat. Namun, kepergiannya .... Hatiku seperti tak rela.
Bibirku bisa berkata benci berulang kali, tapi nyatanya kali ini aku ada di sini menemuinya di kamar. Apa coba yang diinginkan hatiku? Apakah aku masih ingin berduaan dengannya? Tak pernah kusangka perasaanku masih saja pada puncak keegoisannya.
"Tante nyuruh aku buat kasih ini ke kamu." Menyerahkan sebuah wadah bekal berukuran sedang. Dia menyambut lalu tersenyum padaku.
Ya Tuhan, senyum itu .... Hatiku berdebar-debar melihatnya. Sudah beberapa hari aku tak melihat wajah tampan dengan simpul yang sangat menawan ini.
Hawa .... Astaghfirullah.
"Terima kasih, ya."
Aku mengangguk pelan, mengusap telapak tangan satu sama lain. Sejak kapan telapak tanganku berkeringat seperti ini?
"Kalau gitu, aku keluar."
Baru saja ingin melangkah menuju pintu, aku dihentikan olehnya. Kulihat tangannya yang menggenggam erat pergelanganku. Lantas kutatap wajahnya lalu mengangkat wajah sebentar sebagai tanda bertanya "Ada apa?"
"Beri waktu sebentar. Kita dari kemarin tidak ada bicara apapun. Aku mohon, duduk sebentar di sini. Kita bicarakan segalanya dengan kepala dingin."
Aku kembali lagi. Duduk disampingnya, tepat di ujung ranjang.
Sebentar pandangan kami bertemu, mengantarkan sejumput rasa yang berusaha sekuat tenaga aku halau. Sedetik, dua detik, langsung kutepis mata ini dengan membuang wajah darinya.
"Aku minta maaf padamu untuk semua yang terjadi. Aku mengaku salah, Wa. Aku ... aku ingin kamu membatalkan perceraian kita. Aku ingin kita bersatu lagi. Aku ingin kamu kali ini pulang bersamaku. Aku tidak punya niat lain ke sini, kecuali untuk menjemputmu."
Kualihkan mata padanya. Menatap sendu dengan mata yang mulai memanas.
"Dengan nama Tuhan dulu aku titipkan hati ini padamu. Tapi apa yang kamu beri? Kamu hanya bisa melukainya. Dan sekarang, biarkan aku dengan keputusanku. Kamu bebas. Kamu tidak lagi terikat denganku.
Aku juga minta maaf, jika selama menjadi istrimu aku hanya bisa membuatmu susah. Sifat cerewetku malah mengganggumu. Kamu terpaksa makan makanan yang keasinan atau kurang bumbu."
Aku sejenak terkekeh mengingat wajah Ihsan yang selalu berubah kecut jika merasakan masakanku yang keasinan. Lalu akan berganti dengan omelan, atau dia langsung merogoh ponsel dari kantong baju. Menghubungi ojek online untuk memesan makanan. Ah, aku ini istri yang payah.
Dia juga ikut terkekeh. Menertawakan setiap kejadian unik yang telah terjadi. Lalu perlahan sunyi kembali. Tak ada yang bersuara.
Perlahan Ihsan menarik napas panjang lagi dan meraba punggung tanganku yang sedari tadi masih ada di atas paha.
"Bismillah, mau kah kamu menitipkan hatimu lagi padaku?"
Pertanyaan yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya. Sejenak aku membeku karena rasa tidak percaya. Aku sedikit terbuai dengan permintaannya itu. Namun ....
"Khalidul Ihsan, sudah bulat keputusanku untuk bercerai. Banyak sudah kepahitan yang aku terima. Aku tidak sanggup jika harus merasakannya lagi. Maafkan aku, San, untuk semuanya."
Wajah Ihsan terlihat muram. Senyum yang sedari tadi dia beri kini berganti dengan sendu seperti langit hitam yang siap meneteskan guyuran hujan pada bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...