Bunga Cintaku Terpaksa Layu

6.5K 481 4
                                    

Walau sedikit ragu, kuberanikan untuk menatap lelaki yang ada di seberang ini. Dia tersenyum manis, sementara aku mengernyitkan dahi dengan batin yang berhasil diselimuti beribu tanya.

Sedang apa dia di sini? Jangan bilang kalau dia .... Ah, tidak mungkin.

"Perkenalkan dia ini anakku, namanya Ihsan," ucap Ibu Sekar memperkenalkan.

Kutatap wajah Bu Sekar dengan lekat. Senyum mengembang sempurna terlihat dari wajahnya. Walau sudah berumur, tetapi wanita itu masih terlihat ayu.

"Kami sudah pernah kenal," balas Ihsan.

Benarkah? Ternyata dia masih ingat padaku. Aku kira, diri ini bukanlah seseorang yang berarti sehingga bisa dilupakan begitu saja. Tak bisa kubohongi rasa senang langsung menyergap hati, karena ternyata seorang Hawa Rahadatul Aisy masih ada dalam memori Muhammad Khalidul Ihsan.

"Kalian kenal di mana?" tanya Bang Faris dengan nada terkejut.

Kutengok Bang Faris sebentar, beberapa detik berikutnya kujawab, "Kami dulu teman satu kampus."

"Wah, kalau sudah kenal berarti tidak perlu lagi repot-repot untuk mengenalkan kalian," ucap Kak Reni.

"Kalau begini, sepertinya tidak sulit untuk kita langsung bicara tentang konsep pernikahan saja," ujar Ibu Sekar dengan tawa kecil sesudahnya.

Aku sontak membelalakkan mata. Apakah aku tidak salah dengar? Berarti lelaki yang dijodohkan denganku memang dia. Ihsan.

"Ma ... kami saja baru bertemu, setelah bertahun-tahun lamanya. Lebih baik santai saja dulu," kata Ihsan dengan suara lembut khasnya.

Suara itu, suara yang selalu mampu menggetarkan jiwaku. Sudah sangat lama rindu membuncah, bahkan hanya dengan mendengar suaranya seperti saat ini, batinku rasanya seperti tanah gersang yang baru saja mendapatkan air penyejuk. Segar dan seperti ketagihan untuk selalu mendapatkannya. Nafsu di diri ini memang sangat menggila.

"Entah kenapa Mama sangat suka dengan Hawa, San. Susah loh, cari wanita seperti dia. Cantik, berhijab, murah senyum, dan ringan tangan untuk menolong," balas Ibu Sekar, "Dia ini wanita yang Mama ceritakan kemarin, kalau enggak ada dia, Mama enggak tahu deh bagaimana nasib menunggu kamu dan juga taksi yang tak kunjung tiba."

Entah bagaimana pipiku sekarang? Sepertinya sudah memerah bagai buah ceri di musim semi karena tersipu malu.

"Silakan dimakan!" ucap seorang pelayan wanita sembari meletakkan beberapa makanan di atas meja.

"Lebih baik kita makan dulu," ucapku. Jujur saja, ini adalah caraku untuk menghindari pembicaraan yang rasanya semakin membuat canggung.

🌿🌿🌿

Usai salat Isya, kami semua berkumpul di ruang tengah seperti biasanya. Menghabiskan waktu dengan berbagai macam hal. Menonton TV? Sepertinya salah karena sejauh ini malah benda berbentuk ersegi panjang itu yang menatap senda gurau kami yang seakan tidak ada hentinya.

"Bagaimana pertemuannya tadi?" tanya Kakek dengan penuh semangat. Dia yang tadi duduk dengan santai bersandar pada sofa, kini mulai menegakkan punggung dan menatap lekat padaku.

Aku yang sedari tadi sibuk menggulung ujung jilbab yang menjuntai di depan dada, sontak terkejut. Tidak mungkin kalau kukatakan bahwa pertemuan itu adalah sesuatu yang sangat diharapkan.

"Lancar,"jawabku sekadarnya.

"Bagaimana orangnya? Apakah ganteng?" tanya Mira.

Aku mengernyitkan dahi. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Mira, Tante Sarah malah ikut bertanya seputar kejadian sore tadi.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang