"JAWAB, SAN!
Plaaak!
Kupegang pipi kiri dengan jiwa yang teriris. Mata memanas karena menahan desakan air mata yang sudah menganak sungai. Bibir yang sedari tadi mampu untuk berucap, kini tak dapat lagi mengeluarkan sepatah kata pun.
Sakit kepala yang kurasa, tak seberapa dengan perih yang mendera kali ini. Aku memang sudah biasa diperlakukan dingin. Sudah biasa kalimatku dianggap angin. Namun perlakuannya kali ini, sungguh tak bisa lagi kuterima.
Napasku memburu ketika mata kami kembali saling berhadapan. Air mata yang sedari tadi kutahan, kini tak dapat lagi dibendung. Tetes demi tetes jatuh membasahi pipi. Pipi yang beberapa detik lalu sempat mendapat tamparan keras oleh Ihsan.
Rasanya jiwaku sudah hancur. Tak ada lagi kata maaf yang bisa kuberi untuknya. Aku tak bisa diperlakukan seperti ini. Aku bukan binatang yang bisa dianggap tak punya hati. Bukan pula malaikat dengan segala kerendahan hatinya. Aku adalah istri yang seharusnya disayang dan dilindungi, bukan untuk disakiti.
Beberapa detik kutatap wajahnya dengan pikiran yang panas, lantas berlari menaiki tangga, membanting pintu sekuat mungkin.
Tok ... tok ... tok ....
"Aku minta maaf, Wa. Aku khilaf."
Aku menangis tersedu sembari bersandar di pintu. Kurasa sudah tak ada gunanya kata maaf. Untuk apa diucapkan, jika suatu saat dia akan berbuat semaunya lagi.
"Aku tahu kamu marah. Maafkan aku. Ayo, buka pintunya! Kita bicara lagi baik-baik."
Kalimat Ihsan tak sekalipun kuhiraukan. Dalam kondisi yang seperti ini aku memilih keputusan untuk pulang saja ke Jakarta. Berkumpul kembali dengan Kakek, Tante Sarah, Mira, dan Bang Faris. Bersama mereka aku menjadi diri sendiri, tak harus menerima semua perlakuan yang selalu menggoreskan luka.
Kumasukkan semua baju ke dalam koper. Setelah semuanya dirasa tidak ada yang tertinggal, kuseka air mata sembari mengatur jalannya napas. Sangat memalukan meneteskan air mata untuk lelaki yang tak berhati.
Kubuka pintu perlahan, ternyata Ihsan masih saja ada di depan kamarku. Usai pintu terbuka sempurna, dia menatapku lekat, lalu mengalihkan tatapan pada koper hitam besar yang berada tepat di sisi badan.
"Wa, kamu--"
"Aku pulang ke rumah Kakek," tukasku.
Tanpa menunggu balasannya, aku langsung saja melangkah menuruni tangga. Berkali-kali Ihsan mencegat langkahku dengan menarik koper atau pergelanganku. Dia juga berulang-ulang memohon maaf. Namun, aku rasa semua sudah terlambat. Aku sudah muak berada di sini sambil menghadapi tingkahnya yang terus-terusan menyakiti hati.
Langkahku semakin mantap, hingga beberapa langkah lagi menuju pintu, Ihsan kembali memanggil namaku.
"Sekali lagi kamu melangkah, apalagi keluar dari rumah ini, maka talakku akan jatuh."
Deg. Langkahku langsung terhenti. Talak? Cerai? Astaga, bukan itu yang kumau. Aku menggeleng, mata kembali didera air mata yang memang tak bisa ditahan. Tangan mengelus perut yang masih rata sembari memikirkan nasib anakku nanti.
Ihsan sangat keterlaluan. Mentang-mentang dia adalah lelaki, mudah sekali mengancamku dengan kalimat itu. Dia memang sangat mengetahui kelemahanku.
Aku hanya berniat keluar dari rumah, tapi bukan untuk mengakhiri pernikahan ini. Banyak hal yang membuatku harus mempertahankan mahligai rumah tangga ini. Salah satunya, janin yang ada di dalam badanku. Sebenarnya, aku berharap dengan kepergianku, maka dia akan menyesal, tapi yang kudapat ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...