Perjalanan menuju Bandung kali ini harus kulakukan dengan berat hati. Jujur saja niatnya ke Jakarta untuk menjemput Hawa, tapi dia malah menolak. Aku tak mampu memaksanya. Memaksa? Kasihan sudah wanita itu terlalu sering kutekan dalam hubungan ini. Biarkan saja dia dengan keputusannya. Mungkin benar kata Hawa bahwa bisa saja ini adalah goresan takdir kami yang harus dilewati. Namun, ada sebagian dari diriku yang tidak terima. Aku ... aku jatuh cinta padanya. Hari-hari yang kulewati tanpa tingkah lucu dan cerewetnya, malah menjadi sendu dan kelam, ibarat langit hitam yang tak mau menjauh menutupi sinaran matahari.
Aku benar-benar gila karena wanita itu.
Beberapa hari berlalu, masih saja dengan perasaan yang sangat kacau. Berkali-kalai temanku Gaza datang ke rumah sekadar memberi semangat atau sekadar memastikan suasana diriku baik-baik saja. Tak sekali atau dua kali dia menginap, membuat sedikit kegaduhan di rumah bersama dengan beberapa teman kami lainnya yang lajang. Namun, bagaimana juga keributan yang mereka buat, tetap saja menurutku rumah ini sepi.
"Jadi, besok lu bakal ketemu dia dong?" tanya Gaza dengan wajah serius. "Gue tanya sekali lagi sama lu, lu beneran mau sampai sini aja? Gak mau berusaha lebih keras lagi?"
Ya Tuhan, kenapa Gaza malah membahas di saat makan siang seperti ini? Membuat nafsu makanku mendadak hilang. Kuletakkan sendok yang tadi menggantung di udara, lalu menatap wajahnya lamat-lamat.
"Kalau dia maunya ini, gue juga gak punya pilihan. Sudahlah. Kita lihat aja gimana mainnya entar." Kuraih lagi sendok, dan menyuap nasi ke dalam mulut.
Gaza menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kasar. Dia menyandarkan punggung pada sandaran dengan tangan yang bersedekap tepat di depan dada.
"Lu itu payah!" ucapnya secara mantap, aku sontak menatapnya dengan lekat dengan menyipitkan mata sedikit dengan dahi yang sedikit kukerutkan.
"Apa maksud lo?"
"Dulu saat hubungan lu sama Lili gak direstui , lu pasrah aja buat dinikahin. Pas udah nikah malah main api, padahal sudah jelas istri lu itu baik dan dia gak tau apa-apa. Sekarang ... jelas banget, Bro, lu itu susah hidup tanpa istri lu. Yakin mau pisah? Enggak, kan?"
Aku mendesah sebal. "Gue dah usaha. Tapi apa yang gue dapat. Dia tetap kokoh buat cerai. Lu gak lihat nih bekas tamparan abangnya juga masih kelihatan." Kutunjuk pipi yang masih berwarna kemerahan walau samar.
"Baru juga usaha segitu. Wajar lu dipukulin sama abangnya. Bahkan gue malah mau terima kasih sama tuh cowo--"
Apa-apaan dia? Belum selesai kalimatnya langsung kupotong saja,"Apa lu bilang tadi? Terima kasih?"
Gaza sejenak terkekeh, lalu mulai melanjutkan lagi kalimatnya, "Gue tuh udah marah banget sama sikap lu ke istri lu. Jelas banget Hawa orang baik, masih aja lu main api. Gini ya, San. Menurut gue usaha lu itu masih belum keras. Coba lu ketuk lagi hati dia sama keluarganya lebih pelan lagi, lebih gigih lagi."
Aku terdiam,dan memikirkan setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatku ini. Siapa yang menyangka lelaki bujang seperti dia malah bisa bicara bijak seputar pernikahan. Kayaknya nih orang dah kebanyakan nonton film drama ala-ala channel ikan terbang.
"Gak nyangka gue, kalau lu bisa sebijak ini. Sayang aja ... sayang aja sampai sekarang gak laku juga." Merasa makanan sudah selesai disantap, aku memilih berdiri dan melangkah menjauhinya.
"Sialan, lu!" sumpah Gaza sembari melempariku dengan tisu yang sempat ia gulung sedikit.
Ponselku tiba-tiba berbunyi. Kulihat notifikasi datang dari Ayah. Tumben.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumuussalam."
"San, Nenek sakit. Dia mendadak pingsan saat mendengar kabar kamu akan bercerai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...