Apa yang dilakukan Ihsan berikutnya? Dia hanya bergeming, memandangi jalanan. Pertanyaanku tidak mendapat balasan, seakan itu tidak pernah dia dengar.
"San ...."
"Apa lagi?" Suara Ihsan terdengar sedikit meninggi.
Mendengar cara Ihsan merespon, aku langsung meneguk saliva sembari menahan emosi cemas. Apakah dia marah? Ah, aku benar-benar menyesal menanyakan hal tadi.
"Kita ke kampus, yuk!" ajakku.
"Hah. Ngapain?" Ihsan mengalihkan wajah kepadaku lantas mengernyitkan dahi.
"Aku kangen bakso di seberang kampus. Sudah sebulan aku di Bandung, tapi gak pernah sekali pun ke sana dan mencicipi sedapnya bakso buatan Mang Maman. Apakah boleh kita ke sana dulu sebelum pulang?" Kupasang wajah mengiba sebaik mungkin, berharap dia akan menuruti permintaan itu.
"Aku kira setelah di kondangan tadi kamu sudah kenyang, tak kusangka perutmu itu punya daya tampung besar," ejek Ihsan. Ada tawa setelahnya.
Ah, di saat seperti ini masih saja mengejekku.
Tiba-tiba ponsel Ihsan berbunyi. Dia langsung membawa mobil lebih ke pinggir, menghentikannya, lalu menatap layar ponsel.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Mama." Ihsan mengangkat telepon. Aku tidak tahu alasan yang membuat Mama menghubungi pada jam siang seperti ini. Tidak biasanya.
Berhubung Ihsan tidak menggunakan loudspeaker, aku tidak tahu apa yang sedang mereka bahas. Penasaran? Tentu saja. Ihsan sesekali hanya menjawab dengan kata "iya" atau "siap". Setelah beberapa waktu, pembicaraan mereka berakhir.
"Ada apa, San?" tanyaku pada Ihsan yang baru saja mengakhiri panggilan telepon.
"Mama mengingatkan kalau minggu depan adalah hari spesial mereka, ulang tahun pernikahan. Mama tadi pinta aku sama kamu untuk datang ke Yogya. Aku sudah menjawab iya."
Apa?! Kami akan ke Yogya dan itu berarti bertemu dengan keluarga besar Ihsan. Kenapa aku malah jadi cemas begini? Padahal aku pernah bertemu dengan mereka saat pesta pernikahan, tapi hanya sebentar. Aku tak sempat mengenal lebih jauh keluarga besar suami sendiri. Istri macam apa aku ini. Aaargh!
"Kamu tadi katanya mau ke tempat Mang Maman, apakah jadi?"
Aku mengangguk semangat. Aku kira dia tidak akan menuruti permintaan itu, ternyata ... syukurlah!
🌿🌿🌿
Perjalanan dari Bandung menuju Yogya akhirnya sampai juga, sesaat sebelum pesawat mendarat Ihsan yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba saja memanggil namaku. Sikapnya seperti ada kecemasan. Entah, apa yang sedang dia pikirkan?
"Hawa, boleh aku meminta sesuatu?"
Alisku kini saling bertaut. Apa yang ingin dia pinta dariku? Sebenarnya aku mendadak gugup karena nada dan gaya bicara Ihsan saat ini sangat serius.
"Kamu mau meminta apa?"
Dia membuang napas secara kasar, lalu berkata, "Aku mohon, selama seminggu kita ada di Yogya, kamu harus bisa bersikap sebaik mungkin. Berusahalah menampilkan kalau kita ini seperti suami-istri."
"Bukannya kita memang suami-istri?"
"Maksudku, setidaknya seperti suamu-istri kebanyakan."
Oh, aku paham. Dia kali ini memintaku untuk bersandiwara di depan seluruh keluarga. Sama seperti dia yang begitu mahir bersikap manis di hadapan keluargaku.
Aku hanya mengangguk, sebagai gambaran jawaban "iya". Bibir ini kupaksa untuk tersenyum seakan aku biasa saja, padahal ada rasa sakit di hati karena harus berdusta di hadapan seluruh keluarga besar Ihsan. Hati kecil ini mengatakan, apakah aku sanggup melakukannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...