Cukup lama aku dan Ihsan berada di tempat resepsi temannya. Kurasa kami sudah menghabiskan waktu selama 30 menit di sini. Sedari tadi Ihsan tampak sibuk berbicara dengan teman-temannya. Kita semua tahu, bahwa pernikahan teman biasanya adalah momen yang pas untuk mengadakan 'reuni' dadakan.
Tadi Ihsan memang sempat bersikap manis ketika memperkenalkanku pada teman-temannya, tapi tak berselang lama kelakuan aslinya sedikit keluar lagi. Seperti kali ini yang malah membiarkanku duduk di kursi yang letaknya tak jauh dari pelaminan. Dari tempat ini kupandangi wajah kedua mempelai yang tampak berseri. Mempelai wanita terlihat sangat cantik dengan balutan gaun berwarna biru muda dan make up yang cukup flawless, sementara mempelai laki-laki juga terlihat gagah dengan menggunakan pakaian yang senada. Kebahagiaan terpancar indah dari wajah keduanya. Tak hentinya mereka sedari tadi tersenyum dan saling berbisik. Apa yang mereka bicarakan? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
Pernikahan dengan membawa cinta, pastilah akan berakhir bahagia. Berbeda dengan nasib bahtera rumah tanggaku. Salahku sendiri yang mengira akan mampu menumbuhkan rasa cinta pada hati suami, tapi ternyata semua itu seakan jauh dari harapan.
Gelas yang sedari tadi kugenggam kini telah tandas isinya. Padahal aku masih sangat haus. Mungkin karena cuaca yabg cukup terik membuat tenggorokan ini meronta meminta untuk diberi kesegaran. Baru hendak berdiri, aku baru menyadari bahwa sosok Ihsan sudah luout dari jangkauan mata.
Eh, di mana Ihsan? Astaga, kenapa aku bisa kehilangan sosoknya?
Kuedarkan pandangan, seharusnya akan mudah menemukan sosok Ihsan mengingat undangan yang hadir tidak terlalu banyak. Kuputuskan untuk berlalu dan mencari keberadaannya.
Mungkin dia di parkiran, pikirku.
Kucoba melangkah cepat menuju parkiran, baru saja memasuki area parkir, kulihat Ihsan yang sedang berbicara berduaan dengan Lili.
Ada sengatan di dada yang begitu sulit aku tafsirkan. Apakah ini cemburu? Bisa jadi. Apakah pantas aku untuk cemburu? Ah, tentu saja. Aku kan istrinya Ihsan. Lagi pula wanita mana yang kuat melihat suaminya sedang asyik berbicara dengan wanita yang tak lain adalah mantannya. Sungguh, sangat menyakitkan.
Aku atur napas sebaik mungkin, lantas berjalan mendekati mereka. Aku masih berusaha bersikap santai, tapi tidak dengan batin ini. Sebenarnya sedari tadi ingin sekali aku meluapkan rasa ini walau dalam bentuk buliran air mata.
"San, ternyata kamu di sini."
Lili dan Ihsan yang jaraknya hanya sekitar dua meter dari badan ini, langsung mengalihkan wajah kepadaku. Mereka terlihat sama-sama pucat. Seperti maling yang baru ketahuan habis mencuri saja.
"Ada apa, Wa?" tanya Ihsan. Gelagatnya terlihat sangat aneh, aku tahu dia sangat kalut setelah menyadari keberadaanku.
"Kita pulang, San. Aku sudah sangat bosan di sini," jawabku, "Li, kami tinggalkan pulang duluan, gak papa, 'kan?" tanyaku sembari mendekat padanya lalu menepuk pundaknya lembut.
"I-i-iya. Tidak apa-apa." Lili mengucapkan dengan terbata-bata.
Jarak yang begitu dekat seperti ini, dapat kutangkap ekspresinya yang sangat gelisah dan gugup. Namun, dia masih berusaha untuk bersikap santai di depanku.
Ah, kali ini kami semua bersandiwara.
Kubuka kaca mobil sembari melambaikan tangan pada Lili yang masih berdiri tegap melepas kepulanganku dan Ihsan. Dia tampak begitu kaku, begitu pula dengan senyumnya.
🌿🌿🌿
Perjalanan menuju rumah kali ini terasa sangat sepi, hingga yang terdengar sedari tadi hanya suara dari radio yang sedang memutar sebuah lagu yang berjudul "Perfect" yang dulu dibawakan oleh penyanyi Ed Sheeran.
Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, we're listenin' to our favorite song
When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath
But you heard it, darling, you look perfect tonight.Lagu ini, ya aku tahu ini adalah lagu kesukaan Ihsan. Dulu saat kuliah, dia juga sering menyenandungkan lagu ini dengan diiringi petikan gitar. Suara Ihsan yang merdu berpadu indah dengan alunan musik tersebut. Aku tentu saja terbuai mendengarnya, bahkan tak pernah bosan menemani Ihsan saat membawakannya dulu. Sayang saja itu dulu, sedangkan sekarang kami hanya bisa saling diam. Dia begitu fokus menatap jalanan dari balik kemudi, sementara aku hanya membalik wajah darinya sembari menahan luka yang baru saja diterima.
Entah apa sebabnya, Ihsan malah mengecilkan volume radio. Aku yang sedari tadi menatap jalanan dengan tatapan hampa sembari berkhayal tentang nasib kehidupan rumah tangga, kini langsung mengernyitkan dahi dan menatap Ihsan dengan lekat.
"Kenapa?" tanyaku
"Seharusnya aku yang tanya, kenapa dari tadi diam? Tumben banget," ucap Ihsan lalu diiringi sebuah senyum seperti mengejek.
"Gak papa." Sempat ada jeda, aku langsung mengambil napas panjang dan menghembuskannya. Sebentar aku menggigit bibir sawah dengan tangan yang tak hentinya mengetuk kecil pada tas yang ada di pangkuan. "Lili itu cantik, ya?"
Kulihat wajah Ihsan yang sedari tadi santai, kini langsung ubah. Matanya yang fokus menatap jalanan, sontak mengalihkan pandangan padaku.
"Kenapa, San? tanyaku. Aku tahu, sebenarnya dia pasti bingung untuk menjawab pertanyaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
أدب نسائيFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...