Sabtu pagi kali ini Ihsan sudah sibuk dengan kegiatan lari pagi. Sejak matahari baru menyingsing ke permukaan hingga kini jam di dinding sudah menunjukkan pukul 07.00, sosoknya masih saja di luar.
Sebelum pergi ke sekolah, aku siapkan dulu sarapan. Dimakan ataupun tidak nantinya oleh Ihsan, aku tak peduli. Setidaknya kewajiban sebagai seorang istri yang senantiasa melayani suami sudah kupenuhi.
Baru saja sarapan tersaji, kudengar pintu depan seperti dibuka oleh seseorang. Mungkin dia--Ihsan--sudah pulang, pikirku.
Benar saja. Badannya yang berkeringat terlihat jelas, apalagi dengan kaus berwarna abu-abu semakin menampakkan peluh yang membasahi daerah dada dan tangan.
Ihsan memandangiku lalu seperti memindai pakaian yang sedang kukenakan dari atas sampai atas.
"Kamu ke sekolah?"
"TK itu bukan seperti perusahaan yang aktifnya cuman di hari Senin sampai Jumat," jawabku, "di sana sudah aku siapkan sarapan." Kutunjuk meja makan yang sudah tersaji makanan di atasnya. Bukan menu yang wah, hanya sepiring nasi dengan sup ayam. Tentu saja resepnya kudapat dari mama mertua.
Aku melangkah menuju ruang tengah, melewati badan Ihsan yang masih mematung di tempat.
Duduk di atas sofa, menyandarkan punggung sambil meluruskan kaki. Kututup mata, mengambil napas dalam-dalam hingga rasanya memenuhi dada.
Akhir-akhir ini semua yang terjadi begitu menyesakkan. Aku hanya berharap, seiring dengan hembusan napas ini, maka semuanya akan ikut mengalir keluar.
Pemikiran yang salah.
Setidaknya, aku bisa merasa sedikit relaks. Walau sebenarnya masalah akan selalu ada di sini. Ya, tepat di hati. Begitu sesak dan yang kurasa sekarang rasa pedihnya seperti semakin mengakar kuat. Enggan untuk pergi.
Dalam keadaan mata yang tertutup, dapat kurasakan seseorang duduk tepat di sebelah. Menyentuh dan menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.
"Sudah makan?" tanya Ihsan.
Apakah aku bermimpi? Sejak kapan Ihsan malah bersikap sehangat ini? Aku merasa dia ini sepertinya salah makan, atau jangan-jangan ketika lari pagi tadi kepalanya terbentur batang pohon dengan sangat kuat.
Aku menggeleng tanpa mengeluarkan kata sedikit pun.
"Kenapa?"
Kuangkat bahu sejenak. "Malas makan. Kamu makanlah sana!"
"Kita makan bareng, yuk!" ajaknya.
"Kamu makan aja sendiri. Bukannya kamu sudah biasa makan sendiri. Kamu sendiri yang mengatakan kalau makan bersamaku hanya membuat nafsu makanmu menjadi hilang" sindirku mengingatkannya pada kalimat yang kurang lebih tiga minggu lalu ia ucapkan.
"Hari ini aku antar, ya?" bisiknya memecah keheningan yang sempat tercipta. Suaranya begitu jelas. Dapat kupastikan mulutnya memang sangat dekat dengan telinga ini.
Hanya dalam hitungan detik, mataku sontak terbuka. Kutatap ia dengan mata yang disipitkan. Rasa-rasanya aku malah bergidik ngeri karena kalimatnya itu.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿
Seusai mengantar bukannya langsung pulang, Ihsan malah menyempatkan turun dari mobil dan bertegur sapa dengan beberapa guru yang sedang berdiri di depan gerbang menyambut kedatangan para murid. Ada dua guru yang sedang kena berjaga di depan gerbang. Ibu Tina dan Ibu Haura.
"Gak nyangka kalau suami Ibu Hawa ganteng banget," ujar Ibu Haura. Nada kalimat itu seperti menggoda, terlebih dengan tatapan yang dia berikan padaku. "Kalau saya punya suami kaya gitu, aduh ... kayaknya harus dijaga dengan ekstra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...