Siapa yang menyangka aku dan Ghaida bisa hamil berbarengan seperti ini. Hanya saja, bedanya aku tidak merasakan apa pun. Hanya saat di Jakarta saja aku sempat merasakan pusing. Itu pun hanya sehari. Selebihnya semua berjalan dengan normal. Para guru di TK juga keheranan. Ah, apa lagi aku? Masih jelas di ingatan bagaimana susahnya kehamilan yang dulu. Sementara sekarang ... sepertinya anakku ini memang tidak mau merepotkan bundanya.
Sampai usia kehamilan yang tua pun, aku tak merasakan kesusahan yang berarti. Aku juga patut bersyukur dikaruniai suami yang begitu pengertian. Si bayi besar itu terkadang masih manja. Dia hobi sekali memelukku yang sedang duduk di sofa. Dia akan menciumi perutku berulang kali, lalu berselawat. Anakku pasti tenang di sana mendengar lantunan merdu dari ayahnya.
"Sudah tujuh bulan saja. Kamu sudah punya nama, Wa, untuk anak kita?"
Hmmm ... beberapa minggu ini aku memang sering sekali membuka buku seputar nama-nama yang baik dalam agama Islam. Dan aku tertarik dengan nama Nusaibah. Ihsan langsung menegakkan badan saat nama itu terucap di bibirku.
"Kita pakai nama Nenek, ya, untuk anak kita?"
Sebenarnya bukan hanya alasan itu. Nusaibah adalah sosok wanita tangguh dan hebat dalam sejarah Islam. Ya, sedikit banyaknya aku berharap anakku kelak akan mewarisi sikap-sikap mulia beliau.
Ihsan menyetujui pilihanku. Dan untuk nama depan dan belakangnya, aku serahkan saja padanya. Bukankah dia juga berhak atas anak ini?
Semua berjalan lancar. Apa-apa tak ada kendala. Namun, aku sedikit takut menjelang hari melahirkan. Aku tak bisa berharap banyak pada keluargaku yang ada di Jakarta. Mereka juga sibuk atas kelahiran Ghaida. Jadi, tepat di bulan kedelapan kehamilanku, ,mama mertua datang. Dia setia menemaniku, termasuk saat momen melahirkan tiba.
"Kita harus mengambil tindakan operasi caesar karena pinggul si ibu kecil."
Aku semakin kalut saat mendengar kalimat itu dari dokter. Ihsan selalu di sampingku. Dia berusaha menenangkanku dengan mengusap perutku berulang kali. Saat aku merasakan sakit di punggung yang luar biasa, dia juga cekatan untuk mengurutnya.
Tepat pada malam 22 September, putri kami lahir. Suara tangisnya sontak menghilangkan segala rasa sakit yang sudah menderaku. Aku masih tak kuasa menahan haru kala keesokannya perawat meletakkan bayi itu di pangkuanku.
Ihsan mengusap pipiku yang basah. Ah, padahal air matanya pun juga tak pernah berhenti sejak malam tadi.
"Yang, maaf, ya."
"Maaf untuk apa?" tanya Ihsan.
"Karena lahirannya ini caesar."
Aku sering mendengar kata orang di luar sana, seorang wanita akan benar-benar menjadi seorang ibu saat dia merasakan sendiri sakitnya saat melahirkan. Ah, aku menjadi menangis lagi karena ingat kalimat itu.
"Hah, kata siapa? Yang, jangan jadikan omongan orang sebagai standar kebahagiaan kita. Kamu itu hamil selama sembilan bulan, menahan rasa sakit melahirkan, lalu perutmu harus mendapat jahitan begitu banyaknya, dan kamu mau bilang itu semua itu bukan perjuangan? Yang, aku seharusnya yang minta maaf karena apa yang kau lakukan untuk keluarga kita tidak apa-apanya dengan apa yang kulakukan."
"Tapi, Yang ...."
"Sudah. Sekarang fokus sama anak kita saja, ya."
Aku hanya mengangguk. Benar juga, sekarang ini fokusku adalah putriku. Memberikan yang terbaik untuknya.
Setelah takut dengan momen melahirkan, kegalauanku malah bersambung dengan rasa minder. Di keluargaku tidak pernah ada anak kecil. Aku tak terbiasa mengasuh bayi. Hal itu menghadirkan rasa takut untukku kalau saja tak mampu mengurus Aiba--nama panggilan anakku--dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...