Jemput Sekarang

3.2K 224 11
                                    

Aku sudah kebingungan menghadapi kelakuan Hawa. Apa dia masih marah mengenai kepergian ke Bali? Tidak. Bahkan sebelum kepergianku semuanya sudah selesai

Lalu, kenapa lagi dia sekarang?

Aku tak habis pikir, padahal aku hanya meminta penjelasan mengenai kalimatnya saat di kafe tadi. Aku sampai merasa tidak enak pada Lily dan temannya. Tapi saat kumintai keterangan dia malah meneteskan air mata.

Aku benci itu.

Kenapa wanita selalu menjadikan air mata sebagai senjata terakhir. Kasihanilah kami para lelaki yang juga bingung harus berbuat apa.

"Aku ingin ke rumah Kakek."

Apa-apaan lagi ini?

Keesokan harinya aku izinkan. Bukan tak sayang, hanya saja aku tidak ingin dia semakin kalut. Aku merasa dia memang sedang tidak baik. Mungkin kepergiannya ke Jakarta akan sedikit menenangkan.

Ya, sia mungkin akan tenang. Tapi bagaimana aku? Baru juga dua hari dia pergi, aku seperti orang linglung.

"San, yang bagian ini belum ditanda tangani."

"Hah?"

Gaza kembali menyodorkan dokumen. Memang terlihat di sana satu lagi yang belum aku tanda tangani.

Aku mengambil pena kembali, dan lelaki itu mengambil duduk di depanku.

"Bro, gue bingung sama lo, hobi bener ribut sama istri sendiri."

Aku memijit dahi sambil berpikir. Apa yang sedang terjadi, sementara aku merasa semua baik-baik saja.

"Gue juga bingung. Apa-apa yang gue lakuin salah mulu."

"Saran gue, lo secepatnya ke Jakarta dan jemput dia. Lo lupa, terakhir dia pulang sendirian ke sana, tiba-tiba dia kasih gugatan cerai, kan?"

Aku langsung ingat masa itu. Aku bergidik ngeri gara-garanya. "Berengsek lo."

Lelaki itu langsung berjalan ke pintu menjauhiku. "Gue bicara fakta. Lo itu gak bisa hidup sama dia. Udah, deh, terima saran gue." Dia menutup pintu. Sosoknya hilang setelahnya. Namun, belum lama dia kembali. Hanya kepalanya yang dapat kulihat dari sini, "Kalau mau ke Jakarta, ajak gue. Gue mau ketemu sama adek ipar lo."

"Kembali sana ke ruangan lo."

Gak habis pikir, itu kena jampi-jampi atau apa, udah satu bulan ini bicaranya seputar Mira. Gila aja ngasih ke dia. Mira tuh memang hanya adik ipar, tapi aku menyanginya seperti adikku sendiri. Memberikannya kepada playboy cap kadal kaya Gaza sama aja cari perkara. No. Big no.

🌿🌿🌿

Pagi ini Bi Minah tidak dapat datang karena sedang enak badan. Hawa tak ada, Bi Minah tak ada, ya sudah ... paket lengkap. Sarapan kali ini hanya diisi dengan mie instan, telur ceplok, dan sosis goreng.

Hawa ....

Ah, istriku itu memang paling bisa menghukumku, ya walau aku sendiri bingung di mana letak kesalahanku.

Di perjalanan menuju kantor aku sempatkan menghubungi Kak Rebi, tapi sayang panggilanku tidak diangkat. Sesampainya di kantor, dia menelpon balik.

"Ada apa, San?"

Aku menghela napas dalam. Tidak ada tempat paling pas kali ini selain bercerita padannya. Dia wanita. Dia pasti paham dengan apa yang sedang terjadi.

Aku mulai bercerita semuanya, kepergian ke Bali sampai pertemuan terakhir dengan Lily.

"Ya ampun, San, namanya cewek itu kaya tugu sejarah. Dia bakal ingat semua kesalahan dan janji lelaki walau mulutnya bilang maaf."

Ini cewek mulai bicara cepat. Aku sampai kesusahan mencermati. Kalau saja ada lomba rap, akan aku ikutkan dia.

"Tapi kan itu cuma makan siang biasa."

"Tetap aja haram hukumnya," Kak Reni menaikkan suaranya.

Agar tak ada salah paham atau ketimpangan, aku ceritakan semua dari a sampai z. Aku berharap besar dari curhat kali ini Kak Reni bisa memberi pencerahan.

"Saranku, temui dia, masih kayak kemarin, ajak dia bicara betul-betul. Ingat, dari hati ke hati. Tapi San ... masa sih, gara-gara ini dia minta pulang?"

"Nah itu ... aku pun bingung. Mood dia berubah-ubah, Kak. Aku sampai gak habis mikir menghadapinya."

"...."

Aku tertegun. Apakah mungkin ...?

"Eh, Kak, yang ini mama jangan sampai tahu, ya."

"Ya kali ... bisa marah-marah lagi. Tenang ... Aman, kok. Kamu tahu sendiri, mama tuh lebih sayang sama menantu ketimbang anak sendiri. Aku cuma mau tunggu kabar dari kamu. Kalau ada apa-apa, kabarin lagi, ya."

Lagi dan lagi Kak Reni menyarankan untuk mengajak Hawa bicara baik-baik. Iya, ada benarnya. Penyakit aneh juga para wanita. Mereka menuntut lelaki untuk paham. Belum lagi dikatakan tidak peka. Subhanallah. Ada apa dengan otak wanita?

🌿🌿🌿

Pandanganku terasa melayang. Semua seakan-akan beputar. Sepertinya ini efek karena semalaman tidak bisa tidur. Pikiranku tidak bisa pergi dari Hawa. Ada apa dengannya? Entah, dadaku pun berdegup kencang saat mengingatnya.

Setelah salat subuh, aku coba untuk rebahkan badan lagi dan semoga saja bisa tertidur. Benar saja, bisa, walau hanya tiga jam.

Tepat saat bangun kulihat layar hp yang menampilkan notifikasi ada panggilan tidak terjawab sebanyak tiga kali dari Bang Faris. Aku mengernyitkan dahi. Tumben. Kecuali ....

Aku segara menelpon balik lelaki itu.

"Maaf, Bang, tadi ...."

"Udah. Jangan banyak ngomong. Itu Hawa, kemarin pingsan. Lebih baik siang ini kamu ke sini."

Aku membulatkan mata secara sempurna. Astaga, pantas saja aku tidak bisa tidur semalaman, ternyata istriku sedang tidak baik di sana.

"Iya, Bang. Aku berangkat segera."

🌿🌿🌿

Senang, kan, dikasih dua part? 😁
Aku mau cepat-cepat sih. Cepat selesai. Cepat juga nulis cerita yang baru.

Dua part lagi kita akan selesai. Jangan minta penambahan lagi, ya. 🤧

Sampai jumpa malam besok.

Salam cinta, Zuyaa

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang