POV Hawa
Mira menutup pintu dengan cukup keras. Aku sangat hapal kelakuan wanita itu. Pasti ada sesuatu yang terjadi atau hal yang membuat emosinya tersulut. Lagi dan lagi aku masih beranggapan bahwa sikapnya ini karena kalimat Kakek. Namun, menurutku perlakuan Mira sangat berlebihan.
Aku hanya berharap perkiraanku salah.
Ingin sekali mengetuk pintu kamar Mira, mengajaknya bicara, dan mendiskusikan banyak hal, seperti kegiatan yang dulu kami lakukan. Aku terkadang merindukan momen itu. Usai menikah, tanpa aku sadari telah tercipta jarak antara aku dan adikku sendiri. Sudah lama aku tidak mendengar ceritanya, kalimat cerewet, dan segala curahan hatinya.
Tanganku sudah menggantung di udara untuk mengetuk, tapi pada detik berikutnya malah urung dilakukan. Mira sudah cukup besar, tak selalu harus aku yang memulai bicara. Biarkan saja dia menenangkan diri. Kalau sudah tepat waktunya, aku yakin dia akan datang padaku dan menjelaskan dengan perasaan yang lebih adem.
***
Sarapan kali ini Mira masih saja mengurung diri di kamar. Entah mengapa anak itu sejak malam tadi seperti sangat betah mengurung diri, tidak seperti biasanya. Sejak kapan anak yang suka nongkrong tiba-tiba jadi anak rumahan?
Beberapa suap nasi sudah masuk ke tenggorokan. Pandanganku masih menatap lekat pintu kamar Mira yang tidak sedikit pun menampakkan seseorang akan keluar dari sana. Kulihat beberapa anggota keluarga yang lain juga melakukan hal yang sama.
Tak berselang lama Mira keluar dengan pakaian lengkap dan rapi, sepertinya dia sudah siap untuk ke kampus. Dia berjalan mendekati kami. Bukannya duduk dan mengambil sarapan, dia malah salin dengan kami semua dan memutuskan untuk langsung berangkat.
"Gak makan dulu?" tanya Tante Sarah.
"Telat. Nanti aja pas di kampus. Assalamualaikum." Belum sempat kami menjawab salam, Mira melangkah meninggalkan kami. Tak lama suara motor sudah mulai dihidupkan dan lambat laun suaranya mengecil karena yang mengendarai sudah memberi jarak menjauh dari rumah.
Bang Faris menatapku lekat usai melihat Mira yang sudah menjauh. "Kenapa dengan adikmu? Aku perhatikan ada yang berbeda dari sikapnya."
Aku mengangkat bahu sejenak lalu menurunkannya sebagai jawaban bahwa aku tidak memahami apa pun dari perubahan-perubahan yang ditunjukkan Mira.
Setelah sarapan, Bang Faris langsung pergi, sedangkan Kakek juga harus mengecek keadaan restoran. Selama beberapa hari ini semua urusan di sana hanya diatur oleh orang kepercayaannya.
Kakek walau sudah masuk usia senja, tapi masih sangat aktif dalam mengelola bisnis keluarga. Usaha yang bergerak di bidang kuliner itu ia bangun dari titik nol. Berbekal uang seadanya, Nenek dan Kakek membuka sebuah tempat makan yang tidak terlalu besar. Lambat laun dengan kegigihan disertai ikhtiar yang tak henti dari mereka, akhirnya sesuatu yang mereka rintis membuahkan hasil. Kini, restoran itu telah tumbuh dengan pesat. Resep makanan yang diturunkan Nenek selalu menjadi andalan di sana. Jadi, kalian bisa tahu kenapa Tante Sarah begitu mahir dalam urusan dapur. Itu adalah bakat yang turun dari Nenek. Sayang saja, hal itu tidak diwariskan padaku, apalagi Mira. Wanita itu sangat jarang bahkan langka sekali menemukan momen dia menginjakkan kaki di dapur.
"Apakah kamu tidak menyadari perubahan sikap Mira?" tanya Tante Sarah sembari mengelap beberapa piring yang baru selesai dicuci.
Aku meletakkan piring yang baru saja diberi sabun, lalu mematikan kran. "Sebenarnya, Hawa juga merasakan itu."
"Nanti kamu ajak dia bicara baik-baik. Kamu tahu sendiri kalau adikmu itu sedikit labil dan mudah goyang. Nanti kalau dia pulang, ajaklah bicara."
"Kenapa gak Tante aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...