POV Ihsan
"Di mana sekarang Hawa?"
"Nah itu, Tuan." Ada jeda dalam kalimatnya, sementara aku sudah tak sabaran untuk mendengar penjelasannya wanita paruh baya ini. "Nyonya pulang ke Jakarta. Tadi bilangnya ada urusan keluarga di sana. Bibi kira ... Tuan sudah tahu."
Aku segera berlari menuju rumah, dan memasuki kamarnya Hawa. Benar saja. Koper dan setengah dari isi lemari sudah tidak ada.
"Sialan!" Aku duduk di ujung ranjang, menunduk, lantas mengacak-acak rambut secara kasar.
Secepat kilat kuraih ponsel untuk menghubungi Hawa, tapi sayang saja tak kunjung mendapat jawaban.
Seminggu berlalu masih dengan keadaan yang sama. Tak ada kabar, pesan, atau apa pun darinya.
Kenapa kamu, sih, Wa? Kamu marah?
Aku sungguh frustasi tanpa kehadiran wanita selalu ini. Memang, kami selama jni kalau di rumah hanya menghabiskan waktu dengan sedikit bicara saja. Bicara? Bukan. Salah. Lebih tepatnya pertengkaran dengan percikan kecil.
Aku merasa apa yang kuutarakan selalu benar. Apa yang salah? Pikiran Hawa saja yang susah kumengerti. Apakah semua wanita memang seperti itu?
Menyusahkan!
Namun, aku sungguh menyesal. Lihat, baru seminggu tanpa dia, aku sudah segila ini. Untuk urusan perut, memang ada Bibi yang melayani, tapi aku seperti kehilanhan sesuatu. Teman berdebat? Bisa jadi.
Ah, dia bukan teman berdebat. Aku selama ini sudah sadar kalau dia adalah separuh hatiku.
Ternyata sesakit dan sesaknya mendalam saat ditinggalkan oleh dia. Tak pernah aku merasakan rasa seperti ini saat dengan Lili.
Tiba-tiba saja sebuah suara bel berbunyi dari depan. Tanpa ambil tempo aku melaju dan membukakan pintu. Ada seorang lelaki berdiri.
"Benar rumah Pak Khalidul Ihsan?" tanya lelaki yang sepertinya seumuran denganku itu untuk memastikan.
Aku menggangguk sejenak sambil mengamati wajah dan penampilannya. Aku benar-benar merasa tidak pernah berurusan dengan orang ini. Sedang apa dia? Siapa?
"Iya,"jawabku sekadarnya. "Ada apa, ya?"
"Saya mengantarkan ini." Lelaki itu menyerahkan sebuah amplop dengan kop amplop bertuliskan Pengadilan Agama.
"Apa Anda tidak salah kirim?"
"Itu benar untuk Anda."
Apa ini? Jangan bilang kalau ini .... "Terima kasih sudah mengantarkan," ucapku seraya melonggarkan dasi yang masih melekat erat di leher.
Lelaki itu beranjak dan pergi menjauh dengan sepeda motor bebek berwarna biru keluaran Jepang.
Aku membolak-balik amplop yang ada di tangan. Dada sudah berdegup kencang, berharap bahwa apa yang ada di perkiraanku selama ini salah.
Beriringan dengan langkah menuju kamar, kuamati betul isi surat. Badanku sontak lunglai. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa Hawa mampu melakukan ini semua.
Berkali-kali aku menghubungi Hawa, tapi dia masih saja tidak mengangkat panggilanku, padahal aku ingin meminta penjelasan darinya.
[Wa, apakah kamu benar-benar melakukan ini?]
[Cerai? Aku tidak akan pernah melakukannya.]
[Wa, tolong angkat telepon dariku. Aku ingin kita bahas ini bersama. Please!]
Beberapa menit berlalu, pesanku masih tidak mendapat balasan.
Aku tidak punya pilihan. Lebih baik menghubungi Bang Faris. Hanya lelaki itu yang bisa kumintai tolong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...