Seminggu sudah aku pulang ke Bandung. Kini aku tinggal di kamarnya Ihsan, dengan alasan pergerakanku kali ini sudah terbatas untuk naik-turun tangga.
"San, kalau kamu merasa berat satu kamar denganku, lebih baik kita bertukar kamar saja. Kau ambil alih saja kamar di atas," ucapku sebelum dia berbaring.
"Aku sudah nyaman dengan kamar ini," balasnya sambil ikut merebahkan badan di sampingku.
Aku hanya mengangguk pelan dengan kepala yang sebenarnya bingung memikirkan perubahan sikap Ihsan akhir-akhir ini.
Bagaimana hubungan kami usai perdebatan di rumah sakit? Ah, semakin dingin. Ihsan kulihat sekarang ini mulai lembut perlakuannya, tapi menurutku itu semua sudah terlambat. Aku bahkan merasa dia hanya kasihan denganku, bukan cinta yang sekarang dia tunjukkan.
Beberapa hari di Bandung, aku masih malas keluar dari rumah. Mau ke mana juga nanti? Pergerakan yang terbatas. Sementara Ihsan ketika sehari pulang dari Jakarta dia langsung begitu sibuk dengan urusan kerja. Beberapa malam ini dia selalu lembur, katanya banyak tugas yang harus dikerjakan karena kemarin harus bolak-balik ke Jakarta.
Aku merasa sangat bersalah, apalagi jika melihat gurat lelah dari wajah tampannya.
🌿🌿🌿🌿🌿
Kuhabiskan waktu siang ini di ruang tamu dengan membaca novel yang berjudul "Me Before You" karya Jojo Moyes. Buku ini aku temukan ada di rak buku milik Ihsan. Entah mengapa aku sangat tertarik dengan jalan cerita novel ini? Mungkin ... mungkin karena keadaan si tokoh lelaki sejalan dengan nasibku.
Hidup dengan keadaan cacat benar-benar membuat semuanya seperti hancur. Apa lagi yang bisa aku lakukan.
Tok ... tok ... tok ....
"Assalamualaikum." Suara anak kecil.
Siapakah orang di balik pintu itu?
Baru saja mengambil kruk, Bibi Minah--Asisten Rumah Tangga--berjalan cepat menuju pintu. Ya, semenjak kepulanganku dari rumah sakit, Ihsan mempekerjakan Bi Minah untuk mengurus rumah. Wanita itu kuperkirakan berusia 50 tahun. Orangnya sangat baik dan suka mengobrol. Keberadaan Bi Minah di rumah ini mebuat keadaan di rumah sedikit lebih ramai.
"Siapa yang datang, Bi?" tanyaku usai melihat Bi Minah yang mendekat.
"Katanya teman Nyonya."
Kulihat orang di balik badan Bi Minah. Ternyata Roy dan Ayu. Bocah kecil itu seperti menggenggam erat tangan Roy. Beberapa detik usai mata kami bertemu, senyum Ayu tercipta begitu manis di bibirnya.
"Ayu." Kurentangkan tangan, bocah itu mendekat lalu memelukku. "Bagaimana kabarnya, Sayang?"
"Ayu kangen Ibu," gumam Ayu dengan polosnya.
Aku langsung tersenyum usai mendengarnya. Lalu membelai lembut rambut keritingnya. "Ibu juga kangen sama Ayu dan semuanya."
Kualihkan mata pada Roy yang masih berdiri di hadapanku. "Roy, duduklah!" Dia mulai mengatur duduk tepat di hadapan. Posisi kami hanya berbatas sebuah meja kayu berwarna cokelat tua.
Tak lama Bi Minah kembali lagi setelah lima menit yang lalu izin untuk mundur ke dapur. Kini, wanita bergamis merah itu membawakan tiga gelas yang berisi es jeruk dan sebuah toples yang berisi camilan.
"Silakan dimakan!" ucap Bi Minah usai meletakkan nampan di atas meja.
Kulihat Ayu begitu menikmati camilan berupa biskuit cokelat. Wajahnya lucu sekali ketika lumeran cokelat cair membuat pipinya sedikit kotor.
"Ibu kapan ke sekolah lagi?" tanya Ayu.
Mengenai itu, aku pun masih tak memikirkannya. Sudah seminggu, tapi aku masih enggak keluar dari rumah. Kuakui sebenarnya juga sangat rindu dengan aktivitas yang dulu. Namun, apakah aku bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...