Tentang Roy

5.3K 387 5
                                    

"Hawa? Bukankah ini kau?"

"Iya, ini aku, Hawa." Mengangguk. "Bagaimana kabarmu, Roy?" tanyaku dengan suara tenang. Padahal bertentangan dengan hati yang sedang tidak bisa disebut baik-baik saja.

"Kabarku baik, alhamdulillah," jawabnya.

"Om!" teriak Ayu seraya berlari ke arah Roy, lalu menggenggam erat tangannya.

Aku masih duduk mematung sebentar sambil memandang kemesraan antar seorang paman dan keponakan.

Suasana yang tercipta begitu kaku. Aku benar-benar bingung harus bicara dan bertindak apa lagi dengannya.

Hal ini sama dengan pertemuan terakhir kami. Kala itu dia menghampiriku dan Ghaida yang tengah asyik menikmati makan siang.

"Aku dengar kau akan menikah. Benarkah itu, Hawa?" Wajah Roy begitu serius. Dapat kupastikan dia sangat menanti jawaban.

"Itu benar, itulah sebabnya aku memutuskan untuk resign dari kantor," balasku.

Kupandangi wajahnya lamat-lamat, terlihat sangat lesu usai mendapat jawaban.

Kasihan sekali dia.

"Kalau begitu, semoga prosesi pernikahanmu nanti berjalan lancar," ujar Roy lantas mengambil napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. "Mungkin memang kita tidak berjodoh."

Nada bicaranya sangat menggambarkan keputusaasaan. Aku merasa sangat bersalah padanya.

"Apa aku tidak salah dengar dia mengatakan itu?" tanya Ghaida setelah Roy melangkah menjauh. "Aku kira dia memperlakukanmu sama seperti ke wanita lain, tapi ... mendengar kalimat dan melihat gestur tubuhnya, aku malah merasa dia benar-benar menaruh hati padamu."

Aku bergeming. Beberapa detik kemudian kembali lagi fokus pada makanan yang belum tandas.

Sebenarnya, aku juga merasa hal yang sama. Namun, bagaimana lagi?

Ghaida bercerita bahwa semenjak aku resign dan menikah, Roy menjadi orang yang sangat pendiam. Sepulang kerja, langsung pulang tanpa mau ikut teman-teman hang out seperti biasanya.

"Aku rasa Roy itu cintanya tulus untukmu," ucap Ghaida beberapa hari lalu melalui sambungan telepon.

Aku sontak berpikir. Mana mungkin lelaki playboy--biasa main cewe sepertinya--bisa berpikir serius mengenai kata cinta.

Ah, aku rasa Ghaida berlebihan.

"Bagaimana juga kabarmu?" tanya Roy.

"Ba-ba-baik." Kuukir cekungan sabit di bibir, walau sekadarnya.

"Kami setelah ini akan pergi makan-makan di luar. Apakah kamu mau ikut?" tanya Roy.

Mataku membulat sempurna. Sungguh, tak kusangka dia akan mengajakku. Ah, mana mungkin aku bisa ikut dengannya. Siapa aku? Hanya te-man. Tidak lebih.

"Ibu ikut, 'kan?" tanya Ayu dengan memasang wajah memelas. Pandai sekali anak kecil ini mengiba membuat hatiku sulit untuk menolak.

Baiklah, sekadar makan siang. Lagi pula tak mungkin Roy melakukan sesuatu. Dia pasti paham statusku saat ini.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Aku menyendokkan makanan menuju mulut secara teratur. Sesekali melihat asyiknya perbincangan antara Roy dan Ayu.

Dari cara Roy memperlakukan Ayu, bisa saja orang di luar sana mengira bahwa mereka adalah ayah dan anak.

Roy tampak telaten sekali menyuapi Ayu. Aku tahu bahwa gadis kecil itu sebenarnya sangat mampu melakukan aktivitasnya secara mandiri, tapi hari ini ... dia terlihat sangat manja di samping pamannya.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang