Bersikap Egois

5.9K 456 5
                                    

“Bagaimana pertemuannya kemarin?” tanya Ghaida sembari meraih segelas air di atas meja.

Kuhentikan menatap layar monitor laptop, lalu mengalihkannya pada wajah sahabatku ini yang sedang duduk manis di sebelah. Wajahnya mengembangkan sebuah senyum, sepertinya dia berharap kabar baik dariku.

“Begitulah,” jawabku sekadaranya.

“Begitu, begitu bagaimana maksudnya?” tanya Ghaida lagi.

“Ya, lancar dan ... satu hal yang harus kamu tahu, bahwa ternyata laki-laki yang dijodohkan denganku itu adalah Ihsan.” Ghaida sontak tersedak dan batuk berkali-kali.

“Maksudmu?” Dahi Ghaida berkerut.

Aku mengangguk lemas seraya menatap Ghaida dengan lekat. Dia lantas menggeleng lalu bersandar pada kursi hitam sambil membuang napas secara kasar.

“Kalau jodoh emang gak ke mana,” ucapnya, “Terus, gimana kemarin dia pas ketemu kamu?”

“Aku bingung. Kemarin dia irit banget bicara, kalaupun bicara sangat formal, jujur saja dia bukan Ihsan yang aku kenal, Da.”

“Wajar, Wa. Kalian kan sudah lima tidak bertemu, pasti ada sesuatu yang berubah darinya. Bisa juga dia tidak enak untuk bicara seperti biasanya ke kamu karena kemarin ada keluarganya.”

Sejenak aku berpikir. Bisa jadi apa yang dikatakan oleh Ghaida adalah benar. Jangankan Ihsan, aku saja rasanya sangat canggung dalam pertemuan kemarin. Pertemuan setelah lima tahun berpisah, dan kini disatukan lagi oleh Tuhan dengan cara yang tak terduga. Aku rasa, orang lain juga akan merasakan hal yang sama dengan apa yang kualami saat ini.

“Dia ngajak aku ketemu makan siang nanti. Katanya mau mengatakan sesuatu, kira-kira dia ingin mengatakan apa ya?”

“Sudah, jangan cemas!” Ghaida mengusap lembut bahuku. “Temui aja dulu. Aku sih berharapnya yang baik-baik aja.”

🌿🌿🌿

“Sudah lama, San?” tanyaku pada lelaki yang sedang sangat asyik menatap layar ponsel di tangan kanannya. Matanya sontak dialihkan padaku dan tersenyum manis sesudahnya. Ah, senyum itu benar-benar memberi sengatan unik pada hatiku.

“Duduk dulu!” perintah Ihsan. Aku langsung mengambil posisi duduk berseberangan dengannya.

Tak lama, seorang pelayan wanita dengan rambut panjang sebahu menghampiri. Aku hanya memesan secangkir kopi dan kentang goreng sebagai camilan karena sebelumnya sudah makan, walau hanya sedikit, tapi perut ini masih terasa kenyang. Ihsan memesan nasi goreng dan es jeruk. Ternyata makanan dan minuman itu masih menjadi kesukannya.

Bagaimana makan siang ini? Tentu berjalan dengan sangat kaku. Kami hanya berbicara sekadarnya. Percakapan seputar kehidupan kampus yang rasanya sangat manis dan tak mungkin untuk dihilangkan begitu saja, sesekali kami berbicara mengenai teman-teman yang sudah lama tidak kami temui.

“Wa, sebenarnya aku mengajakmu ke sini karena ingin membicarakan seputar perjodohan kita. Aku ingin meminta sesuatu darimu, Wa. Bisakah?”

Dia ingin meminta apa? Aku sangat penasaran. Aku mengangguk sebentar sambil berkata, “Kau ingin minta apa?”

“Aku ingin kamu menolak perjodohan ini.”

Deg. Bibirku menjadi kelu. Kalimat itu ... bukanlah sesuatu yang kuharapkan.

“Ibuku sangat menyukaimu. Begitu juga dengan kakakku. Mereka sangat ingin kita menikah, tapi aku masih belum siap untuk maju ke jenjang itu. Beberapa hari ke depan, mereka pasti akan menanyakan pendapatmu. Aku mohon, tolaklah perjodohan ini!”

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang