Sandiwara

5.3K 424 5
                                    

Kutatap pantulan diri dari balik cermin. Kebaya berwarna putih gading dengan lengan panjang terlihat sangat indah melekat di badan. Riasan yang terkesan sederhana dan hijab berwarna senada sepertinya menambah kecantikanku pada pagi ini.

Perlahan aku menapaki tangga, turun menghampiri seluruh anggota keluarga yang sudah menunggu di ruang tamu.

"Masya Allah, cantik banget Kakak," ucap Mira bersemangat. Wanita yang hari ini mengenakan dress dengan warna ungu itu mendekat, dan tersenyum indah padaku.

Seumur-umur, baru kali ini Mira memujiku. Sepertinya tak ada sedikit pun kebohongan, jika mendengar caranya mengucapkan kalimat itu.

Bang Faris menengok sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangannya, "Ayo, kita berangkat!"

Kami semua bergegas menuju tempat diselenggarakannya akad pernikahan. Jujur saja, sepanjang perjalanan jantungku sudah memompa dengan sangat kencang. Tangan teras sangat dingin. Sesekali kugosokkan tangan pada paha agar mengurangi rasa gugup ini. Tak lupa juga mengatur napas sebaik mungkin.

Apakah semua wanita akan seresah ini pada hari bahagianya? Sepertinya iya.

Usai membelah jalanan ibu kota selama 15 menit, kami sampai juga di depan Masjid Ramlie Musoffa. Kupandangi masjid ini dengan takjub. Bangunan yang besar dan luas, dominan dengan warna putih dan warna emas pada tulisan nama masjid dan kaligrafi, warna yang memberi kesan mewah. Desain eksteriornya juga berhasil menampilkan kesan unik dan megah. Dapat kusebut bangunan ini seperti replika Taj Mahal. Aku benar-benar tidak berlebihan dalam mengatakannya.

"Ayo, kita masuk!" Kakek menuntun langkahku untuk masuk dengan diiringi Tante Sarah di sisi kanan. Tak lupa juga Mira dan Bang Faris di belakang, serta seluruh anggota keluarga besar kami.

Setelah masuk ke bagian dalam masjid, sosok Ihsan masih belum datang. Usut punya usut, ternyata ada sedikit kendala dalam perjalanan. Perasaanku ini sudah sangat resah, ditambah lagi mendengar kabar itu tentu saja sukses membuat jiwa ini semakin kalut.

Beberapa menit berlalu, rasanya jarum jam kali ini berputar dengan sangat lambat. Berkali-kali aku meminta Bang Faris menanyakan keberadaan mereka. Bukannya segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi mereka, Bang Faris malah menertawakan sikapku.

"Sudah, santai saja. Sebentar lagi mereka juga akan datang. Gak sabar banget sih nikah."

Ah, Bang Faris di saat seperti ini masih sempat-sempatnya saja bercanda. Ini bukan waktu yang tepat. Nanti saat kau menikah, aku jamin akan lebih kalut daripada aku.

"Nah, itu mereka," ucap salah seorang keluarga sembari menunjuk ke arah pintu masjid.

Secepat kilat aku menoleh. Syukurlah, itu benar-benar mereka.

Laki-laki yang sangat kucinta, kini berdiri dengan sangat gagah di sana. Mataku seakan tak mau lepas memandangnya. Badannya yang gagah terlihat sangat menawan dengan menggunakan pakaian berwarna senada dengan gaun kebaya yang aku kenakan. Wajahnya yang manis, hari ini terlihat jauh lebih memesona.

Hawa, kalian itu masih belum sah. Mata dan hati ini benar-benar nakal. Maafkan aku, ya Allah.

Aku benar-benar malu karena tidak bisa menjaga mata ini. Tak dapat dipungkiri, bahwa nafsu sangat kuat mencengkeram batinku.

Aku masih duduk di sebelah Tante Sarah, sementara Ihsan kini duduk di sana. Jarak yang hanya sekitar dua meter dariku. Sebuah meja kecil menjadi pemisah antara dia dan Kakek.

Perlahan tapi pasti, tangan dari lelaki berusia senja yang sangat menyayangiku itu bersatu dalam jabat tangan dengan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Lelaki yang sebentar lagi urusan kehidupannya menjadi prioritasku. Lelaki yang sudah bertahun-tahun namanya tak pernah bisa kukikis dari memori.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang