Matahari memancarkan sinar teriknya, berpadu apik dengan kumpulan aroma yang telah menusuk indra penciuman. Aroma lezatnya beef steak masih tidak bisa membuatku terlepas dari ingatan kemarin sore. Lagi dan lagi, waktu ini harus kujalani dengan termenung.
Seharian sudah pikiranku kacau. Tentu saja permintaan dan ajakan Bang Faris kemarin untuk mengenalkanku dengan adik temannya, berhasil membuatku sulit untuk menolaknya. Bisa-bisanya juga Bang Faris sepulang dari kerja di luar kota malah memberi kabar—duka—seperti ini.
Ah, kenapa aku jadi setuju dengan permintaan Bang Faris? Padahal aku bisa menolaknya. Kamu sendiri yang cari gara-gara, Hawa. Astaghfirullah. Lagipula ini bukan ulah Bang Faris. Aku yakin dalang dari semua ini adalah kakek. Kenapa ngotot harus aku yang nikah di tahun ini? Bang Faris sendiri juga belum nikah, padahal umurnya lima tahun di atasku.
Tidak bisa kupungkiri, sepertinya Kakek memiliki pemikiran seperti orang kebanyakan. Ya, di negara ini wanita yang berumur—dewasa—pasti akan dipinta untuk secepatnya menikah. Ingat jam biologis, katanya. Enak sekali jadi laki-laki karena tidak harus ditakuti bayang-bayang seperti itu. Mereka bebas untuk menikah kapan pun. Tidak harus dikejar waktu.
“Wa, bengong aja. Entar kesambet,” ucap Ghaida usai menepuk pundakku, “Masih kepikir sama permintaan Bang Faris, ya?” Ghaida menaruh sebuah gelas yang berisi es teh di atas meja, lantas ikut duduk di sampingku.
Aku mengangguk, “Iya. Aku bingung.”
“Apa salahnya sih untuk kenalan aja dulu? Masalah cocok atau enggak itu kan kembali lagi ke kamu.” Sempat ada jeda dalam kalimatnya, “Kamu masih kepikiran sama lelaki itu, ya?”
Aduh, mulai lagi kan Ghaida mengungkit tentang lelaki itu. Aku rasanya menyesal sekali dulu pernah curhat mengenai keresahan hati padanya..
“Enggak.” Aku menggeleng kuat.
“Dusta.” Ghaida mengibaskan tangan ke wajahku. “Aku itu sudah kenal kamu dari duluuuuuuu sekali. Udah deh, gak usah menutupi semuanya dari aku. Jujur aja!”
Kusipitkan mata sambil menatapnya jengah. Ghaida ini benar-benar menyebalkan. Kalau bicara itu suka semaunya, tetapi aku juga tidak bisa menyangkalnya.
Di hatiku ini masih ada nama dia. Dia, lelaki yang sudah tiga tahun terakhir berhasil menguasai hatiku dengan segala sikap dan wajah manisnya. Kerinduanku tentangnya sudah mengakar kuat. Namun sayang, kisah yang belum sempat dirajut malah harus dihempas dan dibiarkan hancur tak berdaya. Jasadku mungkin bisa berdiri tegap, tapi tidak dengan hati ini. Dia sudah tertutup rapat dan terkunci kokoh.
Aku menunduk sembari menggigit bibir bawah. Pelupuk mata sudah mengembun tapi masih kutahan agar tak menjadi linangan.
Aku mengangguk pelan, “Aku payah, Ghaida. Bahkan untuk urusan hatiku sendiri, aku tidak kuasa melawannya.”
“Urusan hati memang rumit. Semua itu bukan salahmu. Menurutku, kamu hanya tidak menemukan lelaki yang cocok saja sebagai penggantinya. Saranku, kamu ikuti saja dulu permintaan Bang Faris. Siapa tahu lelaki itu adalah jawaban dari kegalauanmu ini.”
Aku hanya bisa mengangguk. Bukan berarti setuju dengan perkataannya. Hanya saja berusaha berdamai dengan hati sendiri.
“Kapan ketemu dengan dia?” tanya Ghaida
“Besok,” jawabku.
“Wah, ternyata gerak cepat Bang Faris. Aku doakan semoga pertemuannya sukses. Kalau dia itu ganteng dan kamu gak mau sama dia, bisa lempar ke aku. Aku siap kok menyambutnya.”
“Kamu kira dia barang.” Aku terkekeh sejenak seraya menggeleng. “Bukannya kamu lagi dekat sama yang lain?”
Ghaida yang sedari tadi meneguk es teh yang tersaji di atas meja, lantas tersedak dan batuk berkali-kali.
“Jangan bahas dia!”
“Emangnya kenapa?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
Ghaida malah mendiamkanku. Dia tidak menjawab sama sekali. Sejauh ini aku hanya tahu sebutan lelaki itu—yang katanya sedang dekat dengannya—dengan nama Beruang Kutub. Kenapa beruang kutub? Entahlah, mungkin karena lelaki itu punya kulit putih mulus laksana bulu binatang itu.
Usai semuanya selesai, aku dan Ghaida beranjak untuk kembali ke kantor. Tentu saja tidak lupa untuk membayarnya di meja kasir. Sesaat keluar dari restoran, kulihat seorang wanita paruh baya dengan gamis panjang berwarna cokelat dengan renda berwarna hitam di bagian pinggang, dan mengenakan kerudung dengan warna cokelat senada. Dia berdiri di depan restoran dengan melirik layar ponsel berkali-kali, terlihat jelas raut gelisah di wajahnya.
“Ada apa ya, Bu?” tanyaku sopan.
“Ponsel saya ini mati. Padahal mau menghubungi anak, biar jemput saya. Dari tadi nunggu taksi juga tidak ada yang lewat,” jawabnya.
“Sini biar saya bantu.” Kukeluarkan ponsel dari dalam tas. “Ibu bisa sebutkan nomor ponsel anaknya!”
“Aduh, saya tidak hapal nomornya.”
Sepertinya penyakit orang sekarang memang seperti ini. Semenjak adanya ponsel, semua orang bisa meminta nomor dari satu sama lain tanpa harus menghapalnya. Tidak salah sih kalau tidak ingat, tapi tidak apa juga kan kalau kita mengingat nomor dari orang terdekat supaya berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Sama seperti yang dialami wanita ini.
“Kalau begitu, saya pesankan taksi online saja.” Secepat kilat kubuka aplikasi untuk memesan taksi online.
Aku, Ghaida dan wanita paruh baya ini duduk di salah satu bangku di depan restoran. Sebenarnya bisa saja aku dan Ghaida meninggalkan wanita ini setelah kupesankan taksi. Namun, rasanya aku tidak bisa. Takut saja kalau ternyata taksinya tidak kunjung datang.
Wanita paruh baya ini sepertinya sangat se-frekuensi dengan Ghaida. Mereka berbicara dengan sangat asyiknya, sementara aku hanya mendengarkan sambil sesekali melempar senyum atau ikut tertawa dengan topik pembahasan mereka.
Setelah menunggu selama lima belas menit, akhirnya datang juga taksi yang ditunggu. Wanita itu berlalu dan pamit pada kami. Sebelum taksi melaju, dia sempat membuka kaca mobil dan melambaikan tangan, “Terima kasih, ya.”
Aku dan Ghaida melambaikan tangan seraya membalas kalimat wanita itu, “Sama-sama.”
Ghaida melirik sekilas pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. “Ya Allah, kita telat lima menit. Ayo, berangkat!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...