Saran Ghaida

4.8K 395 10
                                    

Aku dan Ihsan duduk bersisian, tepat di samping pusara Ayah. Kutatap nanar dua nisan yang bertulisan nama orang tua yang amat disayang.

Suara Ihsan terdengar merdu sekali saat melantunkan surat Yasin, sementara aku mengikuti alunan tartilnya. Rasanya aku tak salah memilih suami. Dia tidak hanya berparas tampan. Suara dan lantunan Quran darinya sangat fasih dan menenangkan hati.

Kini usai membaca Yasin, Ihsan mulai membacakan doa, aku diam seraya menuturkan segala doa yang terbaik untuk orang yang kucinta yang telah lama berpulang.

Hawa rindu kalian, Ayah, Ibu. Lihatlah, orang yang ada di sebelahku ini! Dia adalah imam Hawa. Bersamanya, insya Allah, aku akan mampu mencapai janah-Nya. Kalian sekarang bisa sedikit tenang. Doakan kami agar bisa seperti kalian, berjodoh sehidup semati. Aamiiin ....

"Setelah ini mau ke mana?" tanya Ihsan sambil berjalan bersisian denganku menuju ke luar area pemakaman.

"Mumpung lagi ada di Jakarta, lebih baik kita mampir ke rumah Kakek. Boleh, kan?"

Jujur saja, hati ini sangat rindu dengan orang rumah. Semenjak tinggal dengan Ihsan di Bandung, aku tak pernah bertemu mereka. Dulu, aku sangat malas mendengar cerewetnya Mira, tapi sekarang ... tidak hanya dia, semuanya aku rindukan.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

"San, kamu mau sarapan? Aku sudah masak sop kesukaanmu," ucapku ketika Ihsan baru keluar dari kamar.

"Aku langsung aja."

Ihsan melangkah secepat mungkin menuju pintu.

"San!" Kukejar langkahnya hingga kini bersisian. "Kamu mau sampai kapan kaya gini? Tolong dong, kalau aku ada salah, bilang. Jangan seperti ini!"

Langkah Ihsan terhenti, lalu dia menatapku lekat. "Wa, aku tuh mau ke kantor, lagi buru-buru."

"Selalu begitu."

Ihsan menatapku tajam. "Kalau kamu lapar, makan sendiri. Jangan ganggu aku!" teriak Ihsan.

Aku bergeming, sementara Ihsan melanjutkan kembali langkahnya. Tak lama setelah pintu ruang tamu ditutup dengan kasar, terdengar suara deru mobil yang makin lama makin menjauh.

Kembali, pagi ini harus kutelan pahitnya perlakuan Ihsan.

Ya Allah, rasanya sakit, sakit sekali. Kakek saja tak pernah membentakku, tapi dia ... dua bulan umur pernikahan, entah sudah berapa kali dia bicara dengan nada seperti ini.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

[Wa, aku lagi di Bandung]

Sebuah chat dari Ghaida membuat mataku membulat sempurna karena kegirangan.

[Yang benar?]

[Iya. Kapan sih, temanmu yang super duper baik ini pernah bo'ong?]

[Aih, pede banget. Iya, iya, aku percaya. Nanti aku kirimin alamat lengkapnya. Awas aja kalo masih kesasar!]

Kukirimkan alamat lengkap pada Ghaida. Padahal sudah kutulis selengkap mungkin, tapi beberapa menit, dia menelepon untuk memastikan. Apakah sekali saja? Tentu berkali-kali.

Dia memang menyusahkanku.

Kudengar bunyi deru mesin mobil dari arah luar. Apakah itu Ghaida? Tak lama berselang, suara bel menyusul.

Semakin aku mendekat, terdengar ucapan salam dengan suara yang agak cempreng. Tidak salah lagi, memang si cerewet yang datang.

"Wa'alaikumussalam," jawabku sembari membuka pintu.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang