10 tahun kemudian
Perempuan yang sudah tumbuh dewasa dengan baju gamis berwarna putih, dan hijab berwarna putih bertengger di kepalanya.
Ia sedang berada di pemakaman yang terletak di kota Jakarta. Ia sedang bersama dengan lelaki dewasa. Mereka berdua ingin berkunjung ke tempat bundanya.
Kedua orang itu adalah Bunga dan Albarra. Bunga yang kini sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang sudah mengetahui arti sebuah 'kehidupan' kini ia sudah mengikhlaskan semuanya yang terjadi. Ia kini sudah menjadi seorang dokter di rumah sakit yang dibangun oleh Albarra yang dibantu oleh sang papa.
Albarra yang kini sedang mengelola perusahaan sang papa. Ia hanya membangun rumah sakit untuk kembarannya---Bunga. Bunga yang mengambil fakultas kedokteran.
Bunga dan Albarra sedang menaburi bunga-bunga dan juga juga menyirami gundukkan tanah dengan air. Mereka berdua melafalkan doa di dalam hati mereka masing-masing.
Bunga mengelus nisan Elis. "Bunda, jadi dewasa nggak menyenangkan ... Bunga butuh bunda ... Selama 10 tahun ini Bunga belajar dengan giat, dan Alhamdulillah Bunga bisa gapai cita-cita Bunga berkat dukungan keluarga, dan pastinya bunda. Bunda ... Bunga, akui ternyata sesulit ini menjalani hari-hari, bulan, bahkan sampai tahun tanpa adanya bunda ... Bunga kangen masa kecilnya Bunga yang main bareng bunda ... " Bunga menjatuhkan air matanya.
Albarra yang sedang berada di depannya Bunga hanya menggenggam erat tangan Bunga. Albarra ikut merasakan hal yang sama. Walaupun ia kecilnya tidak dirawat oleh Elis. Tapi, ia sayang kepada Elis.
Bunga memejamkan matanya. Menghilangkan sedikit isakan tangisnya. Air mata yang terus bercucuran. Ia bukannya tidak mengikhlaskan Elis. Ia hanya terharu ketika mengingat dirinya bersama Elis dulu.
Seorang anak kecil berusia 5 tahun dengan wajah yang sangat menggemaskan datang menghampiri Bunga dan Albarra. Lebih tepatnya menghampiri Bunga yang sedang menutup matanya erat dengan air mata yang terus keluar.
Anak kecil itu mengelus pipinya Bunga, dan menghapus air matanya Bunga. "Tante kenapa nangis?" Tanya anak itu yang sedikit menjinjitkan kakinya agar bisa menghapus air matanya Bunga.
Bunga tersentak, lantas membuka matanya. Lalu, ia tersenyum. Ia juga malu karena ketahuan menangis oleh anak kecil. "Enggak ada apa-apa sayang." Bunga mengelus rambut anak kecil itu.
Anak kecil itu mencipitkan matanya menatap Bunga intens. "Kalau enggak ada apa-apa, jadi tante kok nangis? Tante pasti bohong. Kata papa Lana, kita itu nggak boleh bohong. Nanti, Allah malah sama kita." Dengan suara menggemaskan, dan lidahnya yang tidak bisa bilang huruf 'r' ia menceramahi Bunga.
Bunga mengalihkan pandangannya. Jujur, ia merasa malu kepada anak kecil ini. Tidak mungkin ia mengaku bahwa ia habis menangis karena menangisi Elis.
"Tante kenapa diam? Hayoloh tante benelan bohong sama Lana ... Kata papa, kalau olang yang mengalihkan pandangannya ke kita di saat lagi belbicala. Itu altinya olang itu belbohong." Sungguh Bunga gemas dengan anak kecil ini. Bunga tersenyum lantas mengelus rambut anak kecil ini.
Albarra sedari tadi hanya diam. Ia juga gemas dengan anak kecil ini. Masih kecil tapi, sudah bijak dalam berkata-kata.
"Oke ... Tante akui kamu ini pintar banget. Tadi, tante nangis karena teringat sama bundanya tante." Bunga menatap gundukkan tanah di hadapannya. Anak kecil itu mengikuti kemana arah matanya Bunga.
"Bundanya tante meninggal?" Anak kecil itu menutup mulutnya tidak percaya.
"Maaf, Lana enggak tau, kalau bundanya tante meninggal," sambungnya dengan tatapan sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirguna [End]
Teen Fiction[follow sebelum membaca] Judul awal : Bunga Part lengkap Bunga Lestarisa Anderan Perempuan remaja yang selalu gagal dalam percintaan. Pada awalnya ia menyukai seseorang dengan begitu tulus namun, kecewa yang didapat. Seakan tidak jera ia kembali men...