30. Ayah Marah

384 52 25
                                    

Jangan jadi buta hanya karena cinta.
-Hermansyah Anderan

Kini Bunga, Arga, dan Hermansyah sedang nonton televisi di ruang tamu. Setelah selesai makan malam mereka langsung menonton di ruang tamu.

Bunga melirik ke arah Arga. Yang dilirik hanya menganggukan kepala. "Ayah," panggil Bunga.

"Iya Na?" Tanya Hermansyah.

"Be ... Sok ayah dipanggil ... Ke sekolah," jawab Bunga terbata-bata memainkan tangannya.

"Mau ngapain Na?" Tanya Hermansyah menoleh ke arah Bunga.

Bunga gelagapan. Tidak mungkin Bunga harus memberitahunya sekarang. Bisa-bisa besok Hermansyah tidak jadi datang. "Nggak tau," gugup Bunga.

"Yaudah besok ayah datang," balas Hermansyah mengelus kepala Bunga.

Setelah Bunga mengucapkan itu kepada Hermansyah. Bunga langsung menuju kamarnya untuk tidur. "Semoga masalahnya nggak semakin panjang," gumam Bunga.

Setelahnya mata Bunga pun terpejam memasuki alam mimpi.

• • •

Kini Bunga dan Hermansyah sudah berada di ruang bimbingan konseling bersama dengan Seraga Idris.

Hermansyah menatap Idris dengan penuh kebencian. Begitu juga sebaliknya. Entah apa yang membuat mereka seperti itu.

"Baiklah. Maksud dan tujuan saya memanggil bapak. Karena sebuah berita yang menunjukkan anak-anak bapak sedang melakukan sesuatu yang enggak seharusnya dilakukan," ucap bapak bimbingan konseling.

"Maksudnya apa?" Tanya Hermansyah.

Bapak bimbingan konseling pun menunjukkan potonya kepada Hermansyah dan Idris. "Saya mau poto itu di hapus," perintah Idris menyerahkan beberapa lembar uang ratusan.

"Jangan sampai itu tersebar luas ke luar," tegas Hermansyah juga menyerahkan beberapa lembar uang ratusan.

"Saya enggak mau nama saya hancur karena poto itu," tegas Hermansyah.

"Saya enggak mau karir saya hancur karena poto itu!" Seru Idris.

Bahkan kedua orangtua ini masih sempat memikirkan nama dan karirnya. Tidak memperdulikan kedua anaknya.

"Saya nggak membutuhkan uang ini. Saya cuma minta lebih diperhatikan lagi anak-anak bapak. Saya cuma enggak mau kejadian ini terulang lagi," jelas bapak bimbingan konseling menyerahkan kembali uangnya.

"Ambil aja uangnya. Gratis," tutur Idris. Bapak konseling menggelenglan kepalanya.

Tidak semuanya harus di bayar dengan uang. Mungkin bagi orang yang rakus akan kekayaan. Uang adalah segalanya.

Setelah dari ruang bimbingan konseling. Bunga pun berjalan menuju kelasnya. Karena 5 menit lagi bel akan masuk.

"Bagaimana Na?" Tanya Askara yang sudah duduk di bangkunya.

"Iya Na gimana?" Tanya Zaynaqila.

"Enggak ada yang membahagiakan. Ayah gue bahkan lebih mementingkan namanya yang bakalan hancur kalau berita ini semakin menyebar," jelas Bunga.

"Lo yang sabar ya Na," ucap Askara mengelus punggung Bunga.

"Makasih Ra." Bunga tersenyum.

"Iya Na. Lo harus sabar," ucap Maya menenangkan Bunga.

"Gue cuma berharap ayah gue nggak marah sama gue. Walaupun itu mustahil," ucap Bunga tersenyum hambar.

"Gue kasihan sama lo. Tapi, rasa dendam menutupi semuanya." Dengan senyum licik terpatri di bibirnya. Orang itu sangat pintar bersandiwara.

Nirguna [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang