24. Ingin Lebih

376 57 5
                                    

Ingin semuanya kembali seperti semula. Namun rasanya sangat mustahil.

•Bunga Lestarisa Anderan

Kini Bunga dan orang itu sudah berada di mobil. Akibat paksaan dari orang itu.

"Lo kenapa bisa keluar hujan-hujanan. Malam-malam begini?" Tanya pria itu.

"Lo enggak akan ngerti keadaan gue." Bunga menatap kosong kearah depan.

Albarra tersenyum. "Gue akan ngerti kalau lo cerita sama gue." Albarra mengelus tangan Bunga.

Bunga menepis tangan Albarra dari tangannya. "Bunda gue meninggal, dan lo nggak bakalan ngerti rasa sakitnya." Bunga masih tetap menatap kosong kearah jalan.

Mobil Albarra pun berhenti mendadak akibat ucapan Bunga. Jujur, Albarra terkejut. "Bagaimana bisa?" Tanya Albarra menatap wajah Bunga.

"Panjang. Rasanya gue malas untuk pulang kalau bunda nggak ada di rumah."

"Lo harus cerita sama gue!" Seru Albarra.

Albarra pun melanjutkan mengemudi mobilnya yang sempat berhenti akibat ucapan Bunga.

"Lo mau bawa gue kemana?" Tanya Bunga saat dilihatnya ini bukan jalan rumahnya.

"Ke rumah orangtua gue," jawab Albarra masih tetap mengemudi.

"Nggak usah. Antar gue pulang aja. Gue enggak mau ngerepotin lo sama orang tua lo," tolak Bunga pelan.

"Gue nggak lagi nanya sama lo. Jadi lo enggak usah jawab," tandas Albarra.

Bunga hanya mengehela nafasnya pasrah. Bunga kalau berhadapan dengan Albarra pasti langsung kalah.

Entah kenapa rasanya sangat sulit untuk menang bicara dari Albarra.

Sampailah Bunga dan Albarra di tempat tujuan mereka. Yaitu rumah orang tuanya Albarra.

"Assalamualaikum mama," ucap Albarra.

"Waalaikumsalam. Yee bang Barra pulang. Syasya udah lapar tau." Yang menjawab Resya---adik Albarra.

"Eh kak Nana!" Teriak Resya histeris. Saat dilihatnya Bunga sedang berada di samping Albarra.

"Eh, hai Sya." Bunga menjawab sekenanya.

"Kakak ngapain malam-malam kesini?" Tanya Resya.

Bunga gelagapan. Bingung harus jawab apa. "Nih martabaknya. Sana gih masuk kamar udah malam," alih Albarra memberikan kantong plastik berisi martabak, pesanannya Resya.

"Syasya makannya mau bareng kak Nana."

"Kamu makannya sendiri dulu," ujar Albarra.

"Nggak mau." Resya melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Nggak mau ya? Oke. Abang nggak mau beliin kamu martabak lagi."

"Eh. Jangan dong bang. Iya-iya, ini Resya masuk ke kamar kok. Bye. Kak Na." Bunga tersenyum sekilas.

Bunga dan Albarra sedang berada di teras rumahnya orang tua Albarra.

Albarra meminta penjelasan terhadap kejadian meninggalnya Elis. Bunga pun menceritakan semuanya dengan diselingi isakan tangis.

"Jangan nangis. Gue yakin lo enggak selemah ini. Gue tau lo orangnya ceria." Albarra mencoba menenangkan Bunga.

Albarra akui. Bahwa dirinya ikut merasakan keterpurukannya Bunga. Seperti ada yang mengirim rasa sakit itu di hatinya.

"Gue udah coba untuk nggak nangis Bar. Tapi, selalu gagal. Air mata gue jatuh terus tanpa gue minta," lirih Bunga.

Albarra mengelus kepala Bunga. Bunga bahkan tidak menolak kali ini. "Sana gih bersihin diri lo dulu. Di kamarnya Resya aja," titah Albarra.

Nirguna [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang