180°|51

144 17 0
                                    


180 Degree

Di kediaman Danil, hanya tersisa sebagian orang. Candra, Abi, Angel, Ailee, dan Kayla telah pulang. Mengingat hari juga sudah mulai malam, berat memang. Apalagi Angel yang tidak ingin beranjak sedikitpun, beruntung Abi dapat membujuknya.

Abi melirik khawatir pada Angel yang sedang bersandar di jendela mobilnya, dengan pandangan kosong menatap jalanan. Penampilannya sangat kacau, rambut yang sebelumnya dia ikat kini sudah tak berbentuk. Wajah yang selalu cerah itu kini tampak kusam, dengan mata merah dan sembab.

Ada perasaan menyesal dalam hatinya, mungkin jika saat itu dia tidak bersikap acuh pada Icha. Semua ini tidak akan terjadi, setidaknya Icha pasti baik-baik saja sekarang.

Angel tak dapat memikirkan bagaimana kondisi Icha saat ini, sudah hampir 2 hari mereka berpisah. Namun sampai detik ini, belum ada satu kabar pun yang menjelaskan kondisi Icha.

Abi mengulurkan tangannya menggenggam tangan Angel, yang terpangku di pahanya. Matanya memancarkan binar kehangatan, Angel yang melihatnya menangis terharu lalu berusaha kembali tersenyum.

Kondisi jalanan yang sedikit macet, membuat Abi leluasa menatap wajah Angel.

"Icha, pasti baik-baik aja."

Angel yang mendengarnya lantas mengangguk, matanya menatap lurus ke depan. Benar kata Abi, Icha gadis kuat. Dia pasti akan baik-baik saja.

___

Isan berhasil masuk ke dalam ruangan itu, setelah membuat mereka lari ketakutan. Bayangkan saja, di malam yang gelap. Isan memutar suara Mbak Kunti, sepertinya kalian sudah dapat menebak apa yang terjadi?

Ruangan itu memiliki dua tangga yang menyambung ke lantai atas, Isan yakin Icha berada di sana. Beruntung di dalam sini, tidak ada satu orangpun. Isan bergegas naik, matanya menyapu seluruh ruangan.

Satu ruangan tepat di sebelah kanan di jaga oleh dua orang. Isan yakin, itu pasti ruangan yang digunakan untuk menyekap Icha.

Sekarang pikirkan bagaimana caranya mengusir mereka. Isan meneliti setiap sudut ruangan, hingga matanya menangkap sebuah gelas kaca di atas meja tua, yang tidak jauh dari tempatnya.

Isan berjalan perlahan, menempelkan tubuhnya di tembok. Beruntung satu di antara mereka, pergi ke arah kiri. Ini akan memudahkan dia mengecoh mereka.

Prangg.

Satu uang koin 1000-an, Isan lemparkan menuju gelas itu, dan yah, tepat sasaran gelas itu terjatuh dan pecahannya berserakan di lantai.

Satu bodyguard yang tersisa itu, berlari tergesa-gesa menghampirinya. Isan menyembunyikan tubuhnya di balik sebuah pilar, kemudian saat bodyguard itu sibuk dengan pecahan kaca. Isan berlari tanpa menimbulkan suara, dan langsung memasuki ruangan itu.

Isan membeku di tempatnya, saat matanya menatap sosok yang terbaring tak berdaya di lantai. Isan bergegas menghampirinya, perasaannya sudah tak karuan. Hatinya penuh akan amarah, matanya pun mulai memanas.

"Cha? Icha, bangun?!" panggilnya mengguncang tubuh Icha.

Hati Isan tersayat ngilu, melihat Icha dengan wajah dan tubuh pucat. Baju dan tangannya berlumuran darah. Isan raup kepala Icha, membawanya ke pangkuannya.

Bendungan matanya tak lagi bisa lagi Isan tahan, dia terus mengguncang dan memanggil nama Icha. Isan menggeleng kala pikiran burung hinggap di otaknya, dia raih pipi Icha memerintahkannya untuk terbuka.

"I-icha ..., buka mata lo. Ini bukan permintaan, tapi perintah! Cha lo harus bangun! Harus! Lo harus bangun. Cha ...."

Isan bergegas menggendong Icha ala Bridal style, bagai manapun caranya dia harus segera membawa Icha keluar dari tempat ini. Isan mengedarkan pandangannya, ini lantai dua dan hanya ada jendela kecil. Bahkan jendela itu tak akan muat untuk Isan keluar.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang