180°|38

98 16 1
                                    


180 Degree.

PLAKK

Bukan. Bukan Echa yang menampar, justru dialah yang ditampar. Icha marah, hatinya sakit saat kembarannya sendiri menghinanya di depan wajahnya.

Cukup, dia tidak akan diam saja. Ini bukan salah dia sepenuhnya.

"Lo marah, karena gue nempatin posisi lo malam ini?" tanya Icha sambil menunjuk Echa. "APA KABAR SAMA GUE, SAAT LO DAPETIN SEMUA PERHATIAN AYAH SAMA BUNDA?! gue gimana, apa lo tau rasanya?"

"ENGGAK! Lo gak tau, gimana sakitnya gue ngeliat kebahagiaan kalian. Kalian terus anggap gue pembunuh, pembawa sial. Lo pikir itu gak sakit?!" kata Icha memelankan suaranya di akhir kalimat, dengan air mata yang kian deras.

Echa hanya diam, air matanya pun tak dapat di bendung. Keduanya saat ini sama-sama terluka.

Icha bersimpuh di lantai, kakinya terasa sangat lemas. "Lo tau, untuk sesaat gue sangat puas bisa gantiin lo. Tapi, gue sadar. Sampai kapanpun, gue gak akan pernah bisa ada di posisi lo."

"Rasanya sakit Kak, saat mereka panggil nama lo. Padahal yang ada di sana itu, gue!" Icha menunjuk dadanya sendiri.

Dadanya begitu sesak, saat mereka begitu memperhatikannya. Rasanya seperti menikmati hembusan angin di pinggir jurang, dia terlena dengan angin yang begitu tenang. Sampai dia lupa ada jurang yang sedang menantinya.

Keduanya diam dalam hening. Dua orang yang begitu terluka, mereka sama-sama membutuhkan pelukan.

___

"Ini Icha kapan turunnya? Sih," gerutu Angel pada Isan. Sejak tadi mereka menunggu Icha, namun sampai saat ini mereka belum menemukannya.

"Bentar, gue cari dulu." Tanpa menunggu jawaban Angel, Isan sudah berlalu pergi begitu saja.

Angel kembali di buat kesal, mengapa orang-orang yang ada di sekitarnya selaku meninggalkan dirinya sendiri.

"Kamu cantik," ucap seseorang dari arah belakang Angel. Angel berbalik, dan menemukan Abi yang sedang berdiri sambil menatapnya.

Setelah mengetahui siapa yang berbicara padanya, Angel tak memiliki niat untuk merespon Abi. Dia hanya memandang Abi sekilas lalu bersiap untuk pergi, namun suara Abi kembali menghentikannya.

"Please, Angel. Beri aku kesempatan sekali lagi," mohon Abi.

Angel mendengus, "kesempatan untuk apa, untuk nyakitin sahabat gue lagi?"

"Bantu aku, memperbaiki kesalahanku. Bantu aku percaya, bahwa yang aku percayai itu salah."

Angel diam, apa yang harus dia lakukan? Di satu sisi dia ingin membantu Abi, tapi di sisi lain. Dia ragu, apa Abi bersungguh-sungguh?

___

Setelah perdebatannya dengan Echa, Icha bersembunyi di lorong penghubung dekat gudang di lantai dua.

Dia memeluk lututnya, dan menyembunyikan wajahnya di sana. Tangisnya tak berhenti, terlihat dari bahunya yang bergetar.

Sedangkan Echa, dia memilih masuk ke kamarnya. Kondisinya tak kalah buruk, dia meringkuk di kasurnya. Memilih menangis di sana, entah mengapa hatinya begitu sakit. Entah itu karena Icha yang menggantikan posisinya, atau karena menyadari kesalahannya pada Icha. Dia sama sekali tidak tahu, dia hanya ingin menangis saja hari ini.

Isan naik ke lantai atas, setelah bertanya pada Mbok Sum. Dia berjalan mencari kamar Icha, sampai matanya melihat pintu coklat persis seperti yang di gambarkan Mbok Sum.

Tok tok tok.

Isan mengetuk pintu itu, namun tak kunjung mendapat jawaban. Pikiran buruk memenuhi kepalanya, perasaannya sejak tadi tidak enak. Apa Icha baik-baik saja?

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang