180°|52

171 15 6
                                    


180 Degree

Malam semakin larut, hanya cahaya bulan lah satu-satunya penerangan. Tak peduli dengan gelapnya malam, atau mencekamnya suasana.

Isan terus berlari tak tentu arah, menahan segala macam rasa sakit. Icha kembali pingsan, di tambah para bodyguard itu yang masih saja mengejarnya. Membuat Isan menambah kecepatan larinya.

Isan sebisa mungkin harus menyeimbangkan tubuhnya, menahan Icha agar tak terjatuh.

Flashback on.

"Jangan pergi! Ini perintah, bukan permintaan!"

Icha kembali menutup matanya, membuat air mata yang tertahan di pelupuk matanya terjatuh. Dadanya semakin terasa sesak, mungkin kah dia bisa bertahan?

"H-hanya sebentar!" pinta Icha dengan lemah.

"Lo harus janji, bakalan bangun lagi!"

Setelah itu Icha hanya mengangguk, lalu bersandar di dada Isan. "Lo y-yang harus bangunin gue."

Isan mengelus rambut Icha lembut, hati Isan terasa di cubit, saat dia dapat mendengar suara nafas Icha yang teratur.

Isan meraih tangan kanan Icha, dan langsung menempelkan di dadanya. Mencoba memberi tahu Icha, tentang keadaan hatinya.

Tak berselang lama, Isan di buat terkejut. Debaran jantungnya terasa berhenti, dengan nafas yang tercekat. Tangan Icha jatuh begitu saja di pahanya, nafasnya pun terputus-putus.

Isan menggelengkan kepalanya dengan air mata yang sudah bercucuran. Dia dekap erat tubuh Icha, menahannya agar tak pergi.

Matanya menatap hamparan bintang, dan indahnya bulan. Memohon keajaiban, dan meminta kesempatan. Isan berteriak lantang, menyerukan nama Icha. Memanggilnya untuk kembali.

"ICHA!!"

"Di sana!"

Isan menoleh cepat ke arah kanan, saat suara itu memasuki gendang telinganya. Para bodyguard itu, sedang berlari menghampirinya.

Tak ada waktu, Isan menggendong Icha di punggungnya. Berlari menjauhi mereka, dengan sisa tenaga yang dia miliki.

Dor dor

"Akhh!" 

Isan sedikit mencondongkan tubuhnya, tangannya terulur memegang betisnya. Peluru itu mengenai betisnya, membuat darah segar mengucur. Untung saja, hanya terserempet.

Namun tetap saja, namanya juga peluru. Mampu membuat kulitnya robek, dan mengeluarkan banyak darah.

Isan menengok ke belakang, orang-orang itu semakin dekat. Dia tidak memiliki banyak waktu, Isan kembali berlari. Menguatkan betisnya, agar tak terasa sakit.

Flashback off.

Lari, dan lari yang ada dalam kepala Isan. Mengabaikan rasa nyeri, yang menjalar di kaki kanannya. Tak peduli, kucuran darah dan bau manis yang tercium.

Segala rintangan jalan yang menanjak dan menurun, berbagai akar pohon yang menghalang. Semak-semak dan ranting, dia terjang.

Berbagai goresan dari ranting tajam, menggores kulit putihnya. Wajahnya penuh dengan keringat, bercampur air mata. Tatapan matanya terfokus ke depan.

Rasanya Isan ingin berteriak kencang, memarahi semua hal yang menghalanginya. Sinar bulan perlahan tertutup awan, membuatnya sedikit ragu untuk melangkah.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang