180°|53

188 11 0
                                    


180 Degree

Suara mesin EKG memenuhi seluruh ruangan, dengan cat putih. Bau obat-obatan juga menyeruak menusuk hidung. Tetesan cairan infus, selaras dengan suara detik jarum jam.

Seseorang itu masih setia menutup mata, setelah bertarung nyawa di ruang operasi. Dia bahkan harus mendapatkan pengamanan penuh, mengingat kondisinya yang masih kritis.

Tangan dan kakinya penuh dengan perban, serta pelipisnya yang terdapat memar. Selang oksigen juga bertengger manis di hidungnya.

Kejadian penculikan itu, sudah berlalu satu Minggu. Namun sang korban, masih setia menutup mata.

Semua keluarganya, menanti cemas di luar ruangan. Selama satu hari, hanya di perbolehkan satu orang yang menjenguk, tentu harus dengan pengamanan.

"Icha, waktunya bangun."

Bisikan itu seolah memanggil Icha, dia mengerjapkan matanya perlahan. Menyesuaikan cahaya lampu, yang terasa silau di matanya.

Icha merasakan tubuhnya sangat nyeri, dia menatap seluruh ruangan dimana orang yang membangunkannya?

"Isan."

Suara pelan itu, keluar dari mulutnya. Tentu tidak akan terdengar oleh siapapun.

Ceklek

Pintu berwarna putih itu terbuka, menampilkan seorang suster. Dia lantas berlari, memangil dokter.

Danil, Rahma dan Echa yang berada di luar ruangan, lantas masuk. Mereka melihat Icha, yang sedang mengerjapkan matanya.

"Icha," panggil mereka lembut.

Rahma dan Danil memegang tangan kiri Icha, sedangkan Echa di sebelah kanan. Tangan mereka gemetar, saat menyentuh tangan Icha.

Rasa haru dan syukur mereka panjatkan, sebuah keajaiban yang mereka tunggu. Sebelumnya dokter mengatakan, jika tidak ada perkembangan sampai nanti malam. Maka mereka harus bersiap untuk hal terburuk, yang mungkin terjadi.

Mereka menangis, masih belum percaya dengan keajaiban ini.

Sama halnya dengan mereka, satu tetes air mata meluncur dari mata Icha. Benarkah ini keluarganya? Dia takut ini hanya mimpi, dan ilusinya saja. Tapi genggaman di tangannya, terasa sangat nyata. Bahkan Icha membalas genggamannya dengan erat.

Setelah itu, dokter datang dan langsung memeriksanya. Dia mengatakan bahwa Icha, akan segera di pindahkan ke kamar perawatan. Karena kondisinya yang sudah melewati masa kritis.

Tentu saja mereka menyambutnya dengan, bahagia. Akhirnya semuanya selesai, Vani juga sudah mempertanggung jawabkan perbuatannya di jeruji besi.

___

Terhitung sudah 3 hari, sejak Icha di pindahkan ke ruang perawatan. Selama itu juga, dia belum bertemu Isan. Saat dia bertanya, mereka akan selalu mengalihkannya.

Kondisi Icha, tak menunjukan banyak perubahan. Bahkan dalam beberapa waktu lalu, dia kembali harus di larikan ke ruang ICU.

Danil, menatap putrinya yang sudah tertidur. Rasanya tersiksa melihat Icha terbaring tak berdaya di sana. Jika bisa, bolehkan Danil menggantikan posisi, Icha?

"Mas!"

Danil menghapus air matanya, dan langsung menatap Rahma. "Ada apa?"

Rahma tentu tidak bodoh, dia tahu suaminya sedang menangis. Rahma menyentuh pundak Danil, penepuknya pelan. "Dokter, panggil kamu."

Danil mengangguk, dan langsung meninggalkan ruangan. Setelah Danil pergi, Rahma duduk di kursi samping Icha.

"Sayang, cepet sembuh ya. Supaya kita bisa mulai hidup baru, Bunda janji akan selalu sayang sama kamu. Bunda minta maaf, untuk kesalahan Bunda selama ini."

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang