180°|50

156 18 0
                                    


180 Degree

Danil berhasil menahan Aarav, saat ini mereka tengah berada di rumah. Echa juga sudah di perbolehkan pulang.

Semuanya berkumpul di ruang tamu rumah Danil, Rahma menatap kosong foto Icha. Dia merasa sangat bersalah, Danil sudah menjelaskan segalanya. Tentang kematian ibu dan juga adiknya.

Rahma merasa sangat bodoh, menyalahkan putrinya sendiri. Putri yang bahkan tak tahu akar masalahnya, dan sekarang. Apa semuanya sudah terlambat?

Sejak tadi, Danil mencoba menenangkan Rahma. Semuanya telah mereka luruskan, tentang hati mereka yang sangat menyayangi Icha.

Awalnya Echa merasa tak terima, saat melihat kedua orang tuanya begitu mengkhawatirkan Icha. Wajar memang, selama ini dia mendapatkan semua kasih sayang dan perhatian Danil dan Rahma.

Dan saat perhatian itu terbagi, jujur Echa tak terima. Namun kembali lagi pada semuanya, Echa menyadari kondisi saat ini. Dia berusaha berpikiran positif, saat ini Icha adalah prioritas mereka.

Danil sudah menyewa seorang pelacak terhebat, dia juga sudah mengerahkan semua bodyguard-nya untuk mencari Icha. Namun hingga detik ini, masih belum ada yang menemukan keberadaan Icha.

Aarav juga sudah meminta bantuan pada temannya, yang seorang hacker. Selama ini, dia menggunakan jasa temannya untuk mengawasi semua keluarganya, terutama Icha yang Aarav lindungi dengan ketat. Tapi saat ini, justru Icha lah yang tak bisa Aarav lindungi. Dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri, jika sampai terjadi hal buruk pada Icha.

Isan? Dia sempat ingin mencari Icha seorang diri. Mana mungkin dia diam saja, di saat orang yang sangat dia sayangi berada dalam bahaya. Isan tak memiliki kuasa seperti Danil dan Aarav, dia memang dari keluarga kaya. Tapi mungkin kalian sudah tahu, bahwa hubungannya dengan sang ayah bahkan tak baik-baik saja. Teman? Hanya Icha yang benar-benar dekat dengannya.

Aarav berhasil menghentikan Isan. Dalam situasi seperti ini, mereka tak boleh gegabah. Satu kesalahan saja, bisa sangat berbahaya.

Merasa muak dengan segalanya, Isan pergi begitu saja. Katakan saja, jika dia tidak sopan. Tapi pikirannya benar-benar sangat kalut, bayangan kebersamaannya bersama Icha terus menari-nari di otaknya. Sebelumnya senyuman perempuan itu menjadi pemenangnya, namun kali ini. Itu sangat menyakitinya.

Aarav yang melihat Isan keluar, ikut menyusulnya. Dia mencekal tangan Isan, tepat saat Isan akan membuka pintu mobilnya.

"Kamu, mau kemana?"

Isan diam mendengar pertanyaan itu, dia sendiri juga bingung harus kemana.

"Jangan lakuin, hal bodoh!" ucap Aarav lagi.

Isan berbalik menatap Aarav, binar kemarahan menyorot dari matanya. "Terus apa yang harus gue lakuin?!"

"Saya tahu, kamu menghawatirkan Icha. Tapi saat ini, kita tidak boleh ceroboh!" tegas Aarav.

Isan menghela nafas lesu, lalu bersandar pada mobilnya. Tangan Aarav, yang mencekal tangannya terlepas begitu saja.

"Gue cuma pengen nenangin diri, rasanya sumpek disini."

Setelah berucap demikian, Isan masuk ke dalam mobilnya dan langsung meninggalkan Aarav.

Aarav tak kuasa untuk mencegah, rasanya Aarav juga ingin melampiaskan amarahnya. Dia berteriak kencang sambil meninju udara, mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.

___

Kain hitam yang menutup mata Icha, sudah basah dengan air mata. Tangannya begitu perih, tak kala Vani menyayat nya dengan silet. Entah mengapa tapi sayatan silet jauh lebih sakit, di banding dengan pisau. Apa karena silet lebih tajam?

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang