180 DegreeMalam yang sunyi dengan rintih hujan, yang jatuh membasahi bumi. Membuat jalan-jalan dan pepohonan terlihat basah, suasana yang cukup dingin, tapi tidak membuat seseorang menggigil kedinginan. Justru saat ini dia di banjiri oleh keringat, bola yang dia giring terus memantul membuat air menciptrat kemana-mana.
Sebuah lapangan basket, di pinggir kota yang jarang di datangi. Menjadi tempat untuk Sean meluapkan segala emosinya. Ya, seseorang itu Sean Khadafi Arungga. Entah apa yang terjadi, tapi akhir-akhir ini perasannya diliputi rasa gundah.
Dia pikir setelah Echa kembali semuanya akan baik-baik saja. Namun ternyata dia salah, masalah yang sesungguhnya baru dimulai.
Dia memang sudah mengungkapkan perasaannya pada Echa, yang sudah terpendam sejak dulu. Tapi entah mengapa, hatinya masih merasa ada yang tertahan. Dia merasa ini tidak benar, tapi apa? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Terlebih saat dia bersama Echa, rasanya dia tidak senang. Padahal dulu Echa lah yang selalu membuatnya bahagia. Berbeda jika dia bersama Icha, entah apa tapi hatinya selalu merasa bahagia.
Tidak mungkin ini cinta bukan? Pertemuan mereka bahkan baru seumur jagung. Bagaimana mungkin ini cinta? Tapi bukankah ada cinta pada pandangan pertama? Mungkin saja kenyamanan yang Icha berikan saat Echa tidak ada, perlahan menggantikan posisi Echa di hatinya.
Entahlah Sean tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada hatinya, satu sisi hatinya memilih Echa, dan sebelahnya lagi memilih Icha. Apa yang harus dia lakukan?
Sean terus mendribble bola itu dengan berutal, tak jarang dia sampai kehilangan keseimbangannya, dia benar-benar bingung.
"Akhhh."
Sean berteriak sambil melempar sembarangan bola itu, dia mengacak rambutnya prustasi.
"Kenapa lo harus dateng!"
Sean berteriak menatap langit. Bajunya sudah basah kuyup, karena hujan kian deras.
Setelah berteriak. Dia pergi menuju motornya, Sean mengendarainya dengan ugal-ugalan. Jalanan yang masih cukup ramai, membuat dia beberapa kali di teriaki pengguna jalan lainnya. Tapi dia tidak peduli, Sean tetap kebut-kebutan di jalan raya.
___
Pagi hari yang cukup cerah, tapi tak secerah wajah-wajah penghuni SMA Merdeka. Seperti kebanyakan pelajar di Indonesia yang tidak menyukai hari Senin, begitupun mereka. Terlihat wajah murung, tapi ada juga yang biasa-biasa saja.
Di parkiran Sean baru saja datang, wajahnya terlihat agak pucat. Sean berjalan santai menuju kelasnya, tugas dia sebagai ketua OSIS, membuatnya tak memiliki watu istirahat, sehabis ini saja dia harus mengurus pelaksanaan kegiatan upacara bendera.
Saat sedang berjalan santai di koridor, tak sengaja dia berpapasan dengan Icha. Jantung Sean seperti berhenti saat mereka berpapasan, dia melambatkan langkahnya, sambil terus menatap Icha.
Sedangkan Icha terlihat fokus pada ponselnya. Sean sengaja berjalan tepat di hadapan Icha, membuat mereka bertabrakan.
Brukk
"Aduh!" Ponsel Icha jatuh beruntung tidak sampai hancur.
Icha mendongak menatap orang yang menabraknya, dia terkejut saat melihat Sean tersenyum 5 jari.
"Ck. Lo itu apaan sih? Kalo jalan itu pake mata!" bentak Icha menatap Sean tajam.
"Tunggu. Bukannya lo yang salah ya, kan lo yang nabrak gue," ucap Sean balik marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vericha Aflyn ✔️
Teen Fiction#Judul awal 180 degree.# Vericha Aflyn. Perempuan yang akan menginjak usia 17 tahun, dalam beberapa bulan lagi. Dia bukan perempuan yang haus akan popularitas, bukan pula perempuan polos. Dia hanya perempuan biasa-biasa saja, dengan kisah yang tak...