180°|32

91 18 0
                                    


180 Degree.

"ISAN!"

Isan yang tengah berjalan, menuju parkiran menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menemukan seorang pria tampan, berdiri di belakangnya, Aarav.

"Kenapa?"

"Gue mau ngomong bentar."

"Ya udah, ngomong aja."

"Gak disini, Rooftop."

Setelah mengatakan itu, Aarav pergi menuju tempat yang ia sebutkan. Isan? Tentu mengikutinya.

Setelah sampai, Isan duduk di sebuah meja usang yang tidak terpakai. Sedangkan Aarav, memilih sebuah kursi yang tak jauh dari Isan.

"Gue mau langsung aja." Aarav menghentikan ucapannya, membuat Isan menatapnya penasaran.

"Lo, udah lama kenal Icha?" tanyanya.

"Kenapa lo nanya gitu?"

"Gue cuma pengen tahu. Dia adik gue sekarang, dan gue harus tau apapun tentang dia."

"Gue makin penasaran, kenapa lo bisa anggap Icha adik lo?"

"Karena dia mirip adik gue. Awal gue ketemu Icha, gue sempet berpikir kalo dia itu reinkarnasi dari adik gue. Sifat mereka mirip, dia ceroboh, cengeng, dan lucu."

"Menurut gue mereka gak mirip. Icha gak ceroboh, cengeng dan juga lucu. Dia malah terkesan jutek dan cuek."

"Mungkin karena lo belum tau, itu topeng yang dia pake di luar rumah."

"Jangan bilang lo ...," Semoga pemikiran Isan tak benar.

"Iya gue tahu kehidupan keluarga Icha. Gue tahu kenapa dia di benci dari kecil, bahkan dia di anggap pembunuh."

"Lo sebenernya siapa sih? Kenapa lo tau banyak tentang dia?"

"Lo gak perlu tau itu. Gue cuma mau, saat gue gak bisa jaga dia. Lo akan selalu di samping dia, kapan dan di mana pun itu."

"Tanpa lo minta juga, gue bakalan selaku di samping dia."

"Bagus kalo gitu, lusa gue harus balik ke Sydney. Lo harus kabarin gue kalo ada sesuatu sama dia."

Aarav memang akan kembali ke Sydney. Sebenarnya sulit, ketika harus meninggalkan Icha. Tapi dia juga tidak bisa mengabaikan pendidikan, untuk masa depannya.

___

Siang yang panas, kini berangsur berganti teduh. Dua remaja sedang duduk di sebuah bangku taman, yang menghadap langsung ke sebuah danau. Dengan susah payah, Sean berhasil membujuk Echa.

"Maaf," ucap Sean pelan.

Echa hanya diam, perasaan nyeri itu masih ada. Dia masih belum bisa menerima fakta, bahwa laki-laki yang masih menjadi kekasihnya ini, memiliki perasaan pada adik kembarnya.

"Maaf, karena udah nyuiken kamu tadi."

Echa yang semula menatap ujung sepatunya, kini beralih menatap mata Sean. Benarkah yang dia dengar barusan? Sean meminta maaf untuk kejadian tadi pagi, lalu untuk kejadian di rumah Sean?

"Gimana soal ungkapan cinta lo sama Icha?" tanya Echa dengan berkaca-kaca.

"Maksud kamu?"

"Jangan pura-pura bodoh deh Sen. Gue udah tau perasaan lo sama Icha. Jadi please, gue butuh kejelasan. Lo pilih siapa di antara gue sama dia?"

"A-aku gak bisa milih."

"Kenapa? Bukannya lo cinta sama dia? Kenapa gak pilih dia?"

"Cha! Perasaan aku ke Icha, sama kaya perasaan aku ke kamu. Aku gak bisa milih di antara kalian berdua."

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang