180°|12

125 30 0
                                    


180 Degree

Suasana sore seperti ini adalah hal yang paling disukai Icha. Icha duduk di rumput hijau, yang mengarah langsung ke sebuah danau. Menikmati angin sore yang menenangkan, warna jingga itu seperti membawa seseorang yang sangat ia rindukan. Icha memejamkan matanya, mendalami suasana tenang saat ini.

"Putra. Balikin bolanya."

"Cha! Kita di sini lawan ya. Kalo lo mau bolanya ya ambil dari gue." Putra terus saja mendribble bola berwarna oranye itu.

Icha tak putus asa, dia terus mengikuti Putra, mencoba mengambil bolanya. Sampai pada akhirnya Icha berhasil merebut bola itu. Tanpa pikir panjang Icha berlari menghampiri ring, dan memasukkan bolanya, dan hap bolanya berhasil masuk. Icha berteriak kegirangan, ini pertama kalinya Icha bisa menang dari Putra.

Putra yang melihat kebahagiaan Icha ikut tersenyum. Rasanya sungguh menenangkan, melihat orang yang kita sayang bahagia. Putra berjalan menghampiri Icha, dia merangkul pundak Icha dan menelungkupkan kepala Icha ke ketiaknya.

Icha berontak mencoba melepaskan tangan Putra yang melilit lehernya. "Put! Ketek lo bau ih. Lepas!"

Putra tertawa melihat Icha yang terlihat menahan nafas. Karena kasihan Putra melepaskan pelintiran nya, dia masih menertawakan Icha yang terlihat kacau.

"Cha. Itu tuh, hadiah dari gue kan lo baru menang," ucapnya masih diiringi tawa.

"Hadiah. Lo mau gue mati." Icha bersedekap dada.

"Lo gak bakal mati sebelum gue mati Cha." Putra berkata dengan serius, membuat raut wajah Icha berubah datar.

"Jangan ngeduluin takdir Put!"

"Cha. Kalo gue pergi duluan lo jangan berubah ya." Icha menatap Putra dengan raut wajah yang sulit di artikan. Suasana di sekitar mereka menjadi dingin, langit yang semula cerah pun berubah berawan. Icha menatap mata Putra dalam-dalam, walau dengan jarak satu meter, Icha bisa melihat ekspresi Putra yang serius.

"Tergantung kalo lo perginya jauh, mungkin gue bakal berubah." Icha masih menatap mata Putra dalam.

"Jaga diri, Jangan sakit, lo harus cari orang yang bisa jaga lo lebih baik dari gue. Jangan berurusan lagi sama orang brengsek kaya gue. Jangan suka marah-marah. Jangan kecapean, jangan mudah stress, cari keba-" Putra menghentikan ucapannya, kala melihat Icha menangis.

Putra mengikis jarak di antara mereka, perlahan tangannya menghapus air mata Icha. Sakit, sangat sakit melihat Icha seperti ini. Putra membawa Icha dalam dekapannya, membuat Icha terisak di dadanya.

"Ja-jangan pergi!" ucap Icha terbata sambil meremas seragam Putra.

"Hanya raga gue yang pergi, hati dan jiwa gue akan selalu sama lo." Putra mengelus lembut rambut Icha.

Icha semakin terisak mendengar ucapan Putra. Tak lama Icha merasa dekapan Putra semakin melemah, hingga akhirnya tubuh jangkung putra luruh ke lantai semen lapangan basket. Icha yang tidak siap ikut terjatuh, tangan kirinya tertindih tubuh Putra.

"Pu-putra," ucap Icha lirih, dia menepuk-nepuk pipi Putra mencoba membangunkannya. Terlihat wajah Putra sangat pucat, bibir yang selalu merah itu kian memias. Air matanya kembali luruh, Icha menangis di dada bidang Putra, tangan kanannya memukul-mukul Putra.

"Pu-putra jangan pergi hiks.. jangan tinggalin aku hikss.." tangis Icha benar-benar pecah, melihat Putra terbaring tak berdaya seperti ini.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang