180°|29

106 23 0
                                    

180 Degree

Sepi. Satu kata yang mewakili tempat ini, tak ada satu orang pun yang berlalu-lalang. Rindangnya pepohonan yang berada disekitarnya, membuat tempat ini terkesan seram. Gundukan-gundukan tanah, dengan nisan dihiasi nama-nama pemiliknya.

Icha berjalan masuk, dengan seikat bunga Dandelion di tangannya. Dia berjongkok di salah satu gundukan tanah, yang berada tepat di bawah pohon Kamboja.

Tangan kecilnya tertangkup memanjatkan doa. Setelahnya,dia mengelus nisan itu lembut. Senyuman manis, menghiasi wajahnya.

"Apa kabar?" tanyanya lembut.

Dia kembali terdiam sambil menunduk, mencoba menyembunyikan tangis yang ia tahan. Tangan kanannya mencoba menghapus air matanya, lalu dia mendongak kembali menatap nisan itu.

"Gue kangen." Suaranya bergetar.

Bibirnya mulai bergetar, sebenarnya banyak yang ia ingin sampaikan. Mulai dari rahasia orang tuanya, bagaimana mereka memperlakukannya. Tapi ..., tapi rasanya lidahnya terkunci, sangat sulit walau hanya ingin mengucapkan satu kata.

Tangisnya kembali luruh, dia terduduk lemas sambil menangis. Biarkan tangisan yang menceritakan segala penderitaannya. Saat mulut tak mampu berbicara, maka air mata yang akan menceritakannya.

Keadaannya sekarang persis seperti, seorang anak kecil yang menangis dipinggir jalan. Karena tidak dibelikan permen oleh ibunya.

Saat menyadari dirinya lebay, Icha menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan. Dia masih menangis sesenggukan, entah mengapa rasa malu datang padanya. Padahal tempat ini sangat sepi, tidak ada satu orangpun kecuali dirinya.

"Cengeng," ucap seseorang yang entah sejak kapan ada di samping Icha.

Icha refleks menoleh, ke asal suara. Dan menemukan seorang laki-laki tampan, tengah menatapnya. Icha mengusap sisa air matanya, lalu berdiri.

"Lo siapa?" tanyanya pada lelaki itu.

"Saya?" Laki-laki itu menunjuk dirinya. "Apa kamu tidak mengingat saya?"

Icha mengerutkan keningnya, siapa dia? Icha tidak bisa mengenali wajahnya, setahu dia, dia tidak pernah kenal dengan laki-laki dihadapannya ini. Tapi suaranya terdengar tidak asing.

Laki-laki itu mendengus sebal.
"Ck. Selain ceroboh, dan cengeng, kau juga pelupa ternyata."

Tunggu, Icha mengenali nada bicara ini. Ya, Icha ingat. Dia orang yang pernah mengantarnya pulang saat kakinya terkilir.

"Lo ...,"

"Iya saya."

Icha menutup mulutnya tak percaya. Benarkah orang di hadapannya ini, adalah orang yang sama seperti malam itu.

"Siapa ini?" Laki-laki itu berjongkok, lalu membaca nama yang tertera di nisan. "Axel Orlando Putra."

"Bukan siapa-siapa. Jangan kepo!" Icha kembali berjongkok, lalu mencabuti rumput liar disekitar makam.

"Pasti pacarmu."

"Lo siapa sih? Ngapain disini? Lo pasti ngikutin gue ya?"

"Saya baru saja ziarah, lalu melihat kamu menangis seperti anak kecil."

"Ya udah pergi! Gue udah gak nangis ko."

"Galak ya, saya rasa kamu masih punya hutang sama saya. Malam itu saya bilang, kamu bisa membalas kebaikan saya saat kita kembali bertemu."

Icha terlihat diam, laki-laki itu memang mengatakannya malam itu.

"Terus apa yang lo minta?"

"Jelaskan siapa laki-laki yang ada di makam ini." Laki-laki itu menunjuk makam Putra.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang