180°|34

89 18 3
                                    


180 Degree.

"Apa yang kau lakukan!?" tanya seseorang bersamaan dengan nyalanya lampu di ruang tamu.

Icha yang semula berjalan menuju tangga, akhirnya menghentikan langkahnya. Dia berbalik, dan menemukan sang ayah tengah duduk di sofa.

"Untuk apa kau datang ke restoran itu?" tanyanya lagi, masih dengan posisi memegang iPad.

"Itu hanya kebetulan, yah," jawab Icha.

"Kebetulan? Saya tidak percaya perkataan mu, kau pasti sengaja ingin mempermalukan saya, iya kan?!" bentak Danil lagi.

"Jika aku tahu, ayah ada di sana. Aku tidak mungkin datang, yah. Kenapa ayah selalu menyalahkan aku?" Icha berucap sambil berusaha menyembunyikan air matanya.

"Setiap hal yang aku lakukam selalu salah di mata ayah. Seandainya aku putar balik pertanyaan ayah. Kenapa ayah tidak mengajak aku, atau mengapa ayah tidak bilang mau kesana? Aku pasti tidak akan kesana yah. Kenapa ini jadi salahku, yang bahkan tidak apapun? Kenapa aku mempermalukan ayah? Kenapa ayah sangat-sangat membenciku?" ujar Icha tak dapat lagi menahan segala pertanyaan, yang selama ini bersarang di otaknya.

Danil diam melihat air mata jatuh di pipi Icha, hatinya berdesir nyeri. Perasaan itu muncul lagi, perasaan sakit yang kerap kali ia rasakan saat menyiksa putrinya. Ya, sejahat apapun Danil, Icha masih putrinya.

Ada rasa sayang yang terkubur di dalam lautan kebencian. Egonya masih menguasai Danil, ia belum bisa mengerti arti penting seorang putri di hidupnya.

Kali ini egonya menang lagi, Danil berlalu pergi tak ingin melanjutkan perdebatannya.

Sedangkan seseorang di balik tembok pun, tak kuasa menahan tangisannya. Icha adalah sosok yang amat sangat ia rindukan, namun lagi-lagi rasa sayangnya kalah oleh rasa benci.

Dia pun bertanya-tanya, sampai kapan rasa benci itu menguasainya. Di hati kecilnya ia ingin berlari memeluk putrinya, mengusap setiap air mata yang jatuh di sana.

Icha menunduk di tempatnya, dia ingin segera mengakhiri semua ini. Dia ingin membuang semua rasa sakit yang dia rasakan. Dia ingin melupakan semua hal menyakitkan yang dia dapatkan.

Tapi bagaimana caranya, apa kematian yang menjadi jawabannya? Haruskah dia mati?

___

Drett drett

Sebuah ponsel berlogo apel di gigit, yang terletak di atas nakas terlihat bergetar. Sedangkan sang pemilik asik menonton drakor di laptopnya.

Drett drett

Getaran kedua kembali terdengar, Angel sang pemilik ponsel langsung mengambilnya.

"Omo ..., omo!" ucapnya kaget, setelah mengetahui sang pengirim pesan.

"Mau ngapain dia?" gumamnya heran.

"Lo harus bodo amat, Angel." Dia menggelengkan kepalanya. "Gak usah pedulikan dia, inget dia itu jahat. Sekarang mending lo fokus nonton drakor, itu lebih penting dari pada dia."

Angel kembali merebahkan dirinya, namun sekelebat pertanyaan itu kembali muncul. Mengapa dia ingin bertemu dengannya?

"Angel lo harus move on!" teriak Angel.

Tok tok tok

"Angel, kamu kenapa sayang?" tanya seseorang di luar sana.

Angel mengangkat kepalanya. "E-enggak ko mah. Angel gak papa."

"Beneran? Tapi kamu barusan teriak," tanyanya lagi.

"I-itu mah, Angel lagi nonton drakor. Barusan ada adegan pocong disko," jawab Angel asal.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang