180°|41

91 18 0
                                    


180 Degree.

Icha menatap pintu coklat, yang masih tertutup di hadapannya. Tubuhnya kaku, sulit sekali untuk bergerak. Hatinya bergemuruh, gelisah, dan takut dengan apa yang akan terjadi setelah dia memasuki rumah itu?

Dia kembali mengatur nafasnya, menguatkan diri untuk menerima segala sesuatu yang akan terjadi. Dengan keberanian yang susah payah dia kumpulkan, kakinya mulai melangkah ke arah pintu.

Tok tok tok

Mengetuk pintu itu pelan, seolah ragu akan tindakannya. Lama tak ada jawaban, Icha menunduk lalu memejamkan matanya. Batinnya terus merapal doa, berharap tak akan ada yang membuka pintu.

Ceklek

Namun sepertinya, keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Terbukti dari suara pintu yang terbuka. Baru saja Icha akan membuka suara sambil membuka matanya, suara itu sudah terlebih dahulu terdengar.

"Ya ampun, non Icha. Si enon teh, dari mana aja? Mbok khawatir, non!" ucapnya, sambil memegang kedua pundak Icha.

"Mbok ...," ucapnya tak mampu ia lanjutkan, matanya berkaca-kaca.

Mbok Sum yang mengerti, langsung mendekapnya erat, menyalurkan segala kerinduannya. Selama dua hari ini, dia begitu menghawatirkan Icha. Dia sudah mengetahui segala yang terjadi di pesta pada malam itu.

Bahkan Mbok Sum lah, yang sudah mengunci Echa di kamarnya. Awalnya dia senang karena bisa membuat Icha dekat dengan Danil, bahkan mendapatkan pelukannya. Namun semuanya berubah, kala dia menyadari bahwa tindakannya itu salah, itu justru akan membuat hubungan anak dan orang tua semakin merenggang.

Mbok Sum amat menyesal, dan merasa bersalah. Tanpa sadar, dia juga sudah turut berperan menyakiti Icha. Namun dia tak punya kuasa apapun, untuk mencari Icha. Dia hanya selalu berdoa, agar di manapun anak majikannya ini berada, dia akan selalu baik-baik saja. Bahkan dia berdoa, meminta Allah untuk mengakhiri penderitanya.

Mbok Sum mengurai dekapannya, lalu dia tatap wajah Icha, sendu. Wajah itu kian tirus, tak ada lagi pipi yang terlihat berisi. Badannya pun tak jauh berbeda, Mbok Sum menitikkan air matanya. Dia yang bukan siapa-siapa, bisa merasakan kesedihan yang menyelimuti Icha. Lalu bagaimana dengan Rahma, apa dia tak merasa sedih dengan keadaan putrinya?

Tangan Mbok Sum merambat, menyapu pipi Icha yang basah. Kemudian dia gandeng tangan Icha, dan membawanya masuk ke dalam.

Baru saja 5 langkah, Icha memasuki rumahnya. Tidak. Bukan rumahnya, tapi rumah Danil.

Brakk

Beberapa lembar kertas, terlempar tepat di kakinya. Icha memandang kertas itu sebentar, lalu dia mendongak menatap seseorang yang melemparkannya.

Danil dan Rahma berdiri tak jauh, dari Icha. Terlihat jelas, amarah di mata Danil. Bahkan Rahma terang-terangan, menatapnya marah.

Air matanya tak dapat lagi ia bendung, Icha kemudian berjongkok lalu mengambil kertas-kertas itu. Membacanya perlahan, hingga tak dapat di duga hatinya kembali bergemuruh dan terasa nyeri.

Icha berdiri, lalu menatap mata kedua orangtuanya secara bergantian. Berharap menemukan kebohongan di sana, namun sepertinya itu hanya akan menjadi imajinasinya.

"Cepat tanda tangani itu, dan pergi dari sini!" ucap Danil lalu pergi begitu saja menuju kamarnya, sedangkan Rahma terlihat memasuki kamar Echa.

Icha mencengkeram erat, kertas-kertas di tangannya. Air matanya tak dapat dia bendung lagi, hatinya semakin sesak saja.

Danil mengusirnya, Icha tak dapat mengerti dengan jalan pikiran Danil. Dia tega mengusir darah dagingnya sendiri. Ah, Icha lupa. Bahkan Danil tak segan menyiksanya, sepertinya ini bukan hal yang sulit untuk Danil lakukan.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang