180°|44

103 15 1
                                    


180 Degree.

Sebuah ponsel yang tergeletak di atas meja belajar, dengan layar menyala. Terlihat sebuah gambar tangan yang tersayat silet,  berbentuk gif.

Icha mencoba memperbaiki detak jantungnya, yang berdebar cepat. Semakin hari, pesan-pesan aneh terus bermunculan di ponsel Echa. Apalagi pesan itu kerap datang di jam-jam seperti ini, tengah malam. Membuatnya kerap tak tenang, bayangan teror itu selalu bermunculan. Bahkan Icha tak bisa tidur dengan nyenyak.

Ingin membuangnya pun tak bisa. Icha sudah memutuskan pilihannya, ia akan mencari tahu dan menyelesaikan teror itu. Sebelum dia meninggalkan keluarganya, agar dia bisa pergi dengan tenang.

Ada masa tunggu, sebelum dia benar-benar keluar dari sekolah. Dia akan menggunakan waktunya untuk menyelesaikan ini.

___

"Mah!"

Aarav masuk lebih dalam ke kamar Mamanya, kepalanya celingukan mencari sang Mama, sejak tadi Vani tak ada. Membuatnya sedikit khawatir.

Aarav berjalan menuju meja rias, terlihat sebuah ponsel tapi sepertinya itu bukan ponsel Vani. Aarav mengambilnya, lalu meneliti setiap incinya.

"Aarav!"

Aarav yang terkejut, lantas menoleh ke arah pintu masuk. Terlihat Vani yang terlihat marah, dan langsung merebut ponsel di tangannya.

"Kenapa, kamu lancang?" tanya Vani dengan intonasi yang tinggi.

"Maaf, Ma. Aku cuma heran, itu ponsel siapa?" jawab Aarav.

Vani membuka laci di bawah meja riasnya, dan memasukkan ponsel itu di sana. "Lain kali, jangan seperti itu!"

Aarav menggaruk tengkuknya, dengan bibir yang tersenyum malu. Lantas dia keluar, tak ingin semakin di buat malu.

Vani mengusap dadanya. "Hampir saja."

___

Hari Minggu yang indah, Icha telah siap dengan pakaian. Rambut panjang yang tergerai indah, dengan kemeja Monalisa berwarna hitam bermotif bunga sakura, juga jeans hitam miliknya. Tak lupa sepatu sneaker berwarna puti, dan slimbag mini.

Hari ini Isan meminta permintaan ke 2. Kalian masih ingat? Bahwa Icha akan mengabulkan 3 permintaan Isan, saat Isan dapat mengerjakan soal yang di berikan Bu Mega dengan benar.

"Mobil?" tanya Icha saat melihat mobil Isan, terparkir cantik di halaman rumahnya.

Isan yang tengah memperhatikan bunga di pekarangan, menoleh dan mendapati Icha yang berdiri dengan sangat anggun. Sepertinya rencananya untuk move on, akan sia-sia.

Isan menggeleng, mengusir pikiran anehnya. "Biar lo gak pegel nahan. Gue tahu lo tersiksa kan, kalo naik motor? Apa lagi motor gue gede."

Memang benar, Icha tak begitu menyukai motor. Apa lagi motor sport, seperti milik Isan. Dia selalu merasa ingin terjengkang. Pernah saat itu, tangannya lecet karena berpegangan pada bagian belakang motor.

Setelah itu tak ada lagi obrolan di antara mereka, lantas mereka langsung pergi saja dengan perasaan yang awkward.

Mobil Isan melaju pelan, di karenakan jalanan kota yang sangat macet. Suasana di sana masih hening. Icha ingin bertanya, namun entah mengapa rasanya sangat canggung.

"Cantik."

Satu kata yang begitu terdengar jelas, kata itu seolah menggema di seluruh mobil. Icha tak tahu mengapa, tapi pipinya tiba-tiba terasa sangat panas. Jantungnya pun, berdetak dengan cepat. Perutnya serasa di gelitik oleh kupu-kupu, membuatnya tak sadar melengkungkan senyum.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang